Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, seorang filsuf Muslim yang lahir di Wasij, Distrik Farab (Utrar), Transoxiana sekitar 870 M, serta wafat di Damaskus pada 950 M. Sejak masa kecil, Al-Farabi mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Setelah beranjak dewasa, Al-Farabi meninggalkan negerinya menuju Baghdad, yang menjadi pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan saat itu. Di Baghdad, ia belajar logika kepada Abu Bisyr bin Matius, seorang kristen Nestorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani, dan belajar kepada Yuhanna ibn Hailan; sedangkan terkait dengan ilmu Nahwu, ia berguru kepada Abu Bakar As-Sarraj.
Al-Farabi mengabdikan hidupnya pada filsafat, serta pada akhir hidupnya menekuni tasawuf. Ia pernah tinggal di Harran, pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, dan berguru pada Yuhana ibn Jilad. Tidak berapa lama, ia kembali ke Baghdad untuk memperdalam filsafat. Al-Farabi menetap di kota ini selama 20 tahun. Selama di Baghdad, ia menulis dan membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani dan mengajarkan kepada murid-muridnya, antara lain Yahya ibn Abdi, seorang filsuf Kristen. Selain itu, Al-Farabi juga dipercaya sebagai qadhi’ (hakim) dalam pemerintahan Saif al-Daulah, seorang amir Dinasti Hamdaniyyah.
Al-Farabi adalah filsuf muslim yang meletakkan dasar-dasar filsafat Islam secara sistematis dan rinci. Dalam dunia filsafat, Al-Farabi dikenal dengan julukan “Guru Kedua” setelah Aristoteles. Secara garis besar, kehidupan Al-Farabi dibagi ke dalam dua periode. Periode pertama, dimulai dari Al-Farabi lahir hingga ia berusia lima tahun. Namun, hanya sedikit catatan sejarah yang mengungkap masa kanak-kanak dan masa muda Al-Farabi. Sedangkan, periode kedua, kehidupan Al-Farabi pada masa dewasa merupakan periode intelektual; ia meninggalkan rumahnya dan mengembara menuntut ilmu pengetahuan.
Corak filsafat yang mempengaruhi pemikiran Al-Farabi berasal dari sekolah Merv, yang para anggotanya memberi perhatian besar pada persoalan-persoalan metafisika, dibandingkan orang-orang dari Harran dan Basrah yang cenderung pada filsafat alam. Logika Al-Farabi tidak hanya berupa analisis tentang pemikiran ilmiah, melainkan mengandung pandangan mengenai tata bahasa dan pembahasan mengenai teori pengetahuan. Selain filsafat dan logika, ia juga menguasai berbagai bidang seperti matematika, musik, dan astronomi. Ia menulis kurang lebih 70 buku. Adapun karya-karyanya yang terkenal antara lain: Kitab Ara Ahl Al-Madinah al-Fadhilah, Al-Musiqa al-Kabir, dan Tahshil Al-Sa’adah.
Al-Farabi membagi wujud menjadi dua, yaitu “wajib al-wujud” yang merupakan wujud niscaya dan “mumkin al-wujud” yang wujudnya itu tidak niscaya karena wujudnya bergantung pada wujud yang sebelumnya. Dalam hal ini, mumkin al-wujud adalah makhluk yang menjadi bukti adanya wujud-mutlak (Wajib al-Wujud), yaitu Tuhan. Bagaimana Tuhan yang satu, tidak berubah, maha sempurna, dan jauh dari materi bisa menjadi penyebab bagi terjadinya alam semesta? Dalam menjelaskan hal ini, Al-Farabi terpengaruh teori Emanasi dari Neo-Platonisme. Menurut Al-Farabi, Intelek Murni menciptakan segala sesuatu dalam bentuk potensial dan kemudian memancarkan keberadaannya melalui serangkaian tingkatan keberadaan yang berbeda. Proses ini disebut dengan istilah “emanasi”, yaitu “proses memancarkan” atau “proses mengalir keluar”.
Dalam pandangan Al-Farabi, alam semesta terjadi dengan cara emanasi/pancaran. Dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama berpikir, yang merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal kedua, dan berpikir tentang dirinya dalam mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga berpikir tentang Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berpikir tentang dirinya mewujudkan alam bintang. Akal ketiga sampai akal kesepuluh juga berpikir tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berpikir tentang Tuhan menghasilkan akal-akal dan berpikir tentang diri menghasilkan planet-planet.
Menurut Al-Farabi, Tuhan merupakan sumber dari segala sumber keberadaan dan keberlangsungan alam semesta.Dalam konteks ini, proses emanasi berlanjut dari tingkat keberadaan yang lebih tinggi ke yang lebih rendah, menciptakan hierarki yang disebut sebagai “rantai emanasi”. Semakin rendah tingkat keberadaannya, semakin banyak materi yang dimiliki dan semakin jauh dari keberadaan yang murni dan sempurna. Dalam teori ini, manusia ditempatkan pada tingkat keberadaan yang lebih rendah dari benda-benda langit, tetapi memiliki potensi untuk mencapai keberadaan yang lebih tinggi.
Sementara itu, terkait dengan jiwa, Al-Farabi mengungkapkan bahwa jiwa-jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut;
- Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk makan, memelihara, dan berkembang.
- Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
- Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi.
Menariknya, pembahasan jiwa Al-Farabi terkait dengan politik. Menurutnya, jiwa yang hidup pada negara amoral, maka akan kembali ke dalam nufus (alam kejiwaan) dan abdi dalam kesengsaraan. Sementara itu, jiwa yang hidup pada negara jahiliyah, yakni jiwa yang tidak kenal sama sekali dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintah Allah, ia lenyap bagaikan jiwa hewan. Oleh karena itu, kebahagiaan utama dapat dicapai oleh jiwa warga negara utama.
Penulis: Diki Ramadhan
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Referensi
Dedi Supriyadi. 2009. Pengantar Filsafat Islam, (Konsep, Filsuf, dan Ajarannya). Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Rifa’i, Abdul Aziz. 1988. Pelajaran Ilmu Kalam. Semarang: Wicaksana.
Muhammad Alfan. 2011. Filsafat Etika Islam. Bandung: Pustaka Setia.
T.J.De Boer. 2021. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Forum.
Yamani. 2002. Pengantar Jalaludin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan Khomeini, Filsafat Politik Islam. Bandung: Mizan Khazanah Ilmu-ilmu Islam.
Zaprulkhan. 2014. Filsafat Islam sebuah Kajian Tematik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.