Penulis: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil.
Editor: Ayu Lestari

Akhir abad 19 merupakan tahun kematian Friedrich Nietzsche, sosok tonggak pemikiran posmodernisme. Paham ini merupakan suatu pemikiran yang luar biasa memberi pengaruh dalam berbagai kehidupan manusia. Pemikiran posmodern Nietzsche memiliki corak pertentangan terhadap modernisme yang berpuncak pada saintis (segala sesuatu diukur berdasarkan sains sebagai standar dalam kehidupan manusia). Bahkan agama pun ditundukkan dalam kaidah-kaidah keilmuan sains. Dan hal ini menjadi proyek besar kritiknya.

Dalam kritiknya terhadap modernisme, Nietzsche menilai bahwa keinginan atau kehendak berkuasa (will to Power) adalah segalanya. Termasuk dasar, kaidah, dan tujuan dalam dunia ilmiah pun menurutnya adalah didasari oleh kehendak untuk menguasai yang lain. Tidak ada yang lebih baku sebagaimana yang diyakini masyarakat modern seperti patok-patok norma, kebenaran absolut khas modernisme dan lain sebagainya, selain kehendak untuk berkuasa (will to Power) yang menjadi kesejatiannya.

Dikenal sebagai pencetus nihilisme, yaitu paham pada kenihilan atau ketidakniscayaan pada kebenaran yang telah ada dan diyakini selama ini. Nietzsche melihat jalan soliter adalah solusinya. Bahkan terhadap konsepnya tersebut, tidak ada yang menjadi pengikutnya sebagaimana yang terjadi dalam pemikiran-pemikiran sebelum dan sesudahnya. Totalitas Nietzsche ini ditunjukkannya pada sikapnya yang dianggap memuncak dalam memandang Tuhan yang katanya telah dibunuhnya.

Meski ternyata di akhir kehidupan Nietzsche, ia mengakui kelemahan dirinya dan melakukan pertobatan. Ia sempat menyatakan suatu pandangan tentang kondisi ideal, yaitu realita yang diperankan oleh sosok yang disebutnya Ubermensch atau manusia sempurna.

Nietzsche melihat bahwa kehidupan akan ideal ketika Ubermensch berperan aktif dalam realita kehidupan manusia dan mampu menerobos batas-batas kebenaran yang selama ini disangsikannya. Ketulusan menjadi kata kuncinya. Segala sifat belas kasih dan kesetiaan yang menjadi identik dengan cinta ‘berpusat’ di sana.

Ketulusan bukan sekadar alternatif pilihan dari kehendak untuk berkuasa (will to power) yang diyakini telah meruntuhkan segala paten khas modernisme, melainkan diakui sebagai “role model” dari kesempurnaan pemikiran terhadap realita kehidupan.

Tinggallah Nietzsche yang lahir di bulan Juni dalam rak buku sejarah dan Filsafat, dan akan bermanfaat jika dikenang dengan mempelajari pemikiran-pemikirannya. Dinamika pemikirannya telah membawa pengaruh, khususnya dalam wacana-wacana pemikiran seperti analisis kejiwaan (Psikoanalisa) hingga disiplin lintas studi seperti Psikologi dan masih banyak lagi.

Terlepas dari tendensi hiprokisitas yang terdapat di dalamnya, pemikiran Nietzsche terbukti telah mempengaruhi banyak orang yang merasa teracuni, namun bagi sebagian lain, mencerahkan. Pada saat yang sama, pemikiran ‘will to power’ mengisi kekosongan modernisme dari berbagai kekakuan di sana, meski disangsikan dengan konsep Ubermensch yang dikemukakannya sendiri sebagai sosok pematok batasan zaman modern dengan corak saat ini; Posmodern.

Referensi
Friedrich Nietzsche. 2002. Beyond Good and Evil: Prelude to a Philosophy of the Future. Cambridge: Cambridge University Press.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × five =