Merawat Etika di Tengah Laju Teknologi

Stats: 67 Views | Words: 402

3 minutes Read








Penulis: Dede Alamsyah

Editor: Ayu Lestari

 

Di era di mana algoritma AI bisa menentukan nasib manusia, seperti dalam diagnosis medis atau keputusan hukum, kita dihadapkan pada pertanyaan mendesak, landasan etika apa yang kita gunakan untuk mengarahkan teknologi ini? Kisah nyata tentang bias dalam AI kesehatan menunjukkan bahwa di balik angka dan data, tersembunyi nilai-nilai moral yang perlu dipertanyakan.

Islam menawarkan dua instrumen etika yang relevan: maqāṣid al-sharī’ah dan filsafat wujūdMaqāṣid berfungsi seperti kompas yang mengarahkan inovasi untuk melindungi lima hal mendasar: nyawa, akal, keturunan, harta, dan agama. Ini bukan penghambat inovasi, melainkan filter yang memastikan teknologi hadir untuk kebaikan bersama.

Sementara itu, filsafat wujūd dari Mulla Ṣadrā mengajak kita melihat teknologi tidak hanya dari “daun”-nya (fungsi dan performa), tetapi juga dari “pohon”-nya, yaitu keberadaan yang utuh. Seperti cahaya yang membuat segala sesuatu terlihat, wujūd mengingatkan kita bahwa teknologi harus melayani martabat manusia, bukan justru mengikisnya.

Contoh nyata seperti bias algoritma dalam layanan kesehatan menunjukkan bagaimana teknologi dapat memperkuat ketidakadilan yang sudah ada. Di sinilah maqāṣid menuntut audit yang tidak hanya teknis, tetapi juga bernilai. Mempertanyakan siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.

Kasus pengeditan genetik pada embrio manusia oleh He Jiankui menjadi peringatan tentang bahaya intervensi teknologi tanpa panduan etika yang kuat. Maqāṣid mengingatkan pentingnya kehati-hatian ketika menyentuh garis keturunan dan masa depan umat manusia.

Selain itu, praktik surveillance capitalism—di mana data pribadi dikomodifikasi—mengancam ruang privat dan deliberasi publik. Baik maqāṣid maupun wujūd menegaskan bahwa ketika struktur sosial rusak, teknologi tidak akan pernah bisa adil.

Ada enam rekomendasi konkret. Mulai dari integrasi kajian maqāṣid dalam persetujuan teknologi, audit multidisipliner, moratorium pada pengeditan genetik herediter, hingga pendidikan etika dalam kurikulum STEM.

Kita berada di titik di mana inovasi bergerak lebih cepat daripada refleksi. Dengan berpegang pada maqāṣid sebagai kompas dan wujūd sebagai pandangan mendalam, kita dapat memastikan teknologi tumbuh seperti pohon yang sehat, berakar kuat, berbatang kokoh, dan memberikan naungan bagi semua, bukan hanya kilau sesaat.

 

Referensi:

Auda, J. (2007). Maqasid Al-Shariah as philosophy of Islamic law: A systems approach. International Institute of Islamic Thought (IIIT).

Alsomali, N. (2021). CRISPR-Cas9 and He Jiankui’s case: An Islamic bioethics review using Maqasid al-Shari’a. Journal of Religion and Health.

Kalin, I. (2010). Knowledge in later Islamic philosophy: Mulla Sadra on existence, intellect, and intuition. Oxford University Press.

Kamali, M. H. (2003). Principles of Islamic jurisprudence. Islamic Texts Society.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *