MULLĀ SHADRĀ DAN CHARLES DARWIN: Dialog Al-Harakah Al-Jawhariyyah Dengan Teori Keturunan Modifikasi

Stats: 200 Views | Words: 1962

10 minutes Read




Penulis: Akhmad Fawzi
Editor: Ayu Lestari

Meskipun berasal dari latar belakang dan zaman yang berbeda, baik Mullā Shadrā maupun Charles Darwin memiliki relevansi penting untuk dikaji di era modern ini. Terlebih lagi, banyak remaja Muslim saat ini yang cenderung lebih mengenal teori-teori Barat dengan alasan kepopuleran, sementara mereka kurang memahami pemikiran yang lahir dari tradisi Islam itu sendiri.

Di sisi lain, penelitian ini berupaya untuk menjalin dialog antara pandangan Islam (Timur) dan pandangan Barat, guna menunjukkan bahwa Islam dapat merelevansikan keberadaannya di tengah pandangan umum yang menganggap ajaran Islam sudah tidak relevan dibandingkan dengan kemajuan di Barat. Selain itu, banyak orang masa kini yang materialistik, mengabaikan peran Tuhan dalam proses terbentuknya alam semesta. Mengingat latar belakang permasalahan tersebut, penulis akan menggunakan metode deskriptif untuk mendialogkan pemikiran kedua tokoh ini, sehingga pembaca dapat memahami persamaan dan perbedaan antara keduanya, meskipun berbeda latar belakang, namun sebenarnya saling terkait.

Darwin, seorang naturalis besar yang lahir dalam keluarga industrialis dan ilmuwan kedokteran,[1] merumuskan teorinya dalam karyanya “The Origin of Species by Means of Natural Selection or the Preservation of Favoured Races in the Struggle for Life.” Sebenarnya, ia tidak menyebut teorinya sebagai “evolusi,” melainkan “keturunan dengan modifikasi”.

Istilah evolusi kemudian digunakan oleh para pengkaji atau pembacanya setelah buku tersebut diterbitkan. Salah satu kesalahpahaman yang umum di masyarakat adalah anggapan bahwa manusia berasal dari kera. Padahal tidak seperti itu. Sebenarnya, manusia dan simpanse memiliki nenek moyang yang sama, dan manusia berevolusi lebih unggul dari hewan lain melalui empat revolusi: kognitif, pertanian, ilmiah, dan industri.[2]

Paradigma awal Darwin beranggapan bahwa tidak ada perubahan sejak penciptaan bumi, yang dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Namun, pandangannya berkembang menjadi kesimpulan bahwa organisme yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dapat meneruskan sifat unggul kepada keturunannya melalui reproduksi.[3] Konsep keturunan dengan modifikasi menjelaskan bahwa berbagai bentuk kehidupan di bumi, seperti pohon, bunga, dan cacing, berasal dari nenek moyang yang sama.

Keragaman ini menciptakan klasifikasi hierarki spesies, dari yang paling kecil hingga yang terbesar, serta dari yang kurang sempurna hingga yang lebih sempurna. Keragaman muncul karena bentuk-bentuk yang berbeda cenderung berevolusi secara terpisah seiring berjalannya waktu.[4] Modifikasi keragaman spesies mengandaikan adanya hereditas dan variasi dalam setiap spesies.

Variasi spesies, mulai dari binatang dan tanaman hingga manusia, dipengaruhi oleh pertumbuhan reproduksi yang berbeda-beda, serta oleh faktor tambahan seperti ketersediaan makanan, seperti yang disebutkan oleh Andrew Knight.[5] Landasan hereditas dan variasi sangat penting; tanpa keduanya, evolusi tidak akan terjadi dan seleksi alam tidak akan efektif. Hereditas merujuk pada totalitas pewarisan karakter, sedangkan variasi adalah perubahan yang meniscayakan perbedaan pada setiap spesies.[6]

Semua spesies memiliki asal usul nenek moyang yang sama, meskipun dalam kelahirannya terdapat kesamaan karakter serta perbedaan. Manusia, yang termasuk dalam genus Homo, berasal dari spesies Homo sapiens. Sapiens ini adalah nenek moyang manusia modern yang berhasil memenangkan persaingan seleksi alam dengan genus manusia lainnya, seperti Homo erectus, Neanderthal, dan Homo Denisova.[7] Setelah muncul, spesies berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang teratur, yang berkembang sesuai dengan hukum-hukumnya, yang disebut sebagai seleksi alam.[8] Seleksi alam sebagai mekanisme perubahan evolusioner, muncul akibat tingginya laju pertumbuhan yang mendorong setiap spesies untuk bertahan hidup melalui perjuangan dan persaingan.[9]

Sementara itu, Al-Harakah Al-Jawhariyyah, atau perubahan trans-substansial, meruntuhkan pandangan para pendahulunya yang menganggap substansi sebagai sesuatu yang fixed. Menurut Mullā Shadrā, substansi[10] dapat mengalami perubahan yang juga mempengaruhi tingkat aksidentalnya. Misalnya, substansi sebagai manusia dapat berubah menjadi hewan secara substansial, dan sebaliknya.

Dengan demikian, tidak ada sesuatu yang fixed pada substansi. Dalam konteks sains, Al-Harakah Al-Jawhariyyah karya Mullā Shadrā memiliki kesamaan dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang menggugurkan prinsip determinisme mekanis Newton. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menunjukkan bahwa pada tingkat sub-atom, terdapat ketidaktentuan yang menunjukkan bahwa keadaan tersebut belum sepenuhnya fixed.[11]

Gerakan perubahan terjadi pada substansi karena memiliki potensi untuk bertransformasi menuju aktualitas. Sesuatu yang memiliki wujud dapat berpotensi untuk berwujud lagi; misalnya, kayu adalah sesuatu yang bersifat potensial sekaligus aktual. Substansi kayu dapat berubah menjadi meja atau bangku, yang merupakan bentuk aktualisasi yang lebih lanjut. Di sisi lain, warna pada kayu adalah sifat aksidental, yang tidak dapat berdiri sendiri dan tidak bisa bergerak, berbeda dengan substansi yang dapat berdiri sendiri dan mampu bergerak.

Dengan demikian, tesis awal yang menyatakan bahwa perubahan terjadi pada aksiden ditentang oleh Mullā Shadrā, yang berpendapat bahwa perubahan pada aksiden sebenarnya berawal dari perubahan substansi. Ketika substansi mengalami perubahan, aksiden pun otomatis ikut berubah. Misalnya, ketika kayu diubah menjadi bangku, substansi kayu telah bertransformasi dari bahan mentah menjadi produk jadi, dan sifat-sifat aksidental yang melekat pada substansi tersebut, seperti warna, kehalusan permukaan, dan bentuk, juga berubah.

Perubahan gerak menjadi suatu keniscayaan dalam menyusun argumen filosofis emanasi yang sangat erat kaitannya dengan Al-Harakah Al-Jawhariyah. Perubahan gerak ini memungkinkan sinaran emanasi menjangkau segala sesuatu, mulai dari alam fisik, alam imajinal, hingga alam metafisik. Proses perubahan gerak dari potensi menuju aktualitas, dan ketika sudah menjadi aktual lalu kembali menjadi potensi untuk diaktualisasi ulang, disebut al-Labs ba’d al-labs (berpakaian setelah berpakaian).[12]

Contoh pada manusia, dimulai dari sperma yang menjadi janin, lalu bayi, anak kecil, remaja, dewasa, hingga akhirnya menjadi orang tua. Namun, proses ini tidak berhenti pada tataran fisik saja. Al-Harakah Al-Jawhariyyah juga menandai pemancaran yang menaik dari bawah ke atas, di mana setiap wujud memiliki intensitas cahaya yang memungkinkan mereka naik menuju realitas sejati dalam alam ketinggian.[13]

Dengan demikian, jelas bahwa orientasi gerak trans-substansial menurut Mullā Shadrā berawal dari Tuhan dan kembali kepada-Nya. Mulyadhi Kartanegara menyatakan bahwa teori Al-Harakah Al-Jawhariyah ini sejalan dengan konsep evolusi Rumi, yang mencakup perjalanan dari tataran yang lebih luas hingga kejelasan orientasi dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju.[14]

Sebagian besar umat Muslim lebih mengenal teori Charles Darwin dibandingkan dengan Al-Harakah Al-Jawhariyah karya Mullā Shadrā. Padahal, Al-Harakah Al-Jawhariyah sebenarnya mendahului teori Darwin. Mungkin, kurangnya pengenalan terhadap Mullā Shadrā disebabkan oleh kenyataan bahwa ia hidup dalam konteks filosofis yang belum banyak dijelajahi. Berbeda dengan Charles Darwin, yang segera terkenal karena pada zamannya belum ada penemuan lain yang mampu menjelaskan proses munculnya spesies di alam semesta. Keduanya memiliki teori yang menjelaskan kemunculan alam semesta, sehingga beberapa pemikir Muslim modernis menyamakan Al-Harakah Al-Jawhariyah dengan teori keturunan modifikasi Darwinian. Namun, ada juga yang tidak sepakat dengan penyamaan tersebut.

Seperti yang dijelaskan dalam pendahuluan, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan melalui studi komparatif antara Mullā Shadrā dan Charles Darwin. Berdasarkan latar belakang keduanya, jelas ada perbedaan: Mullā Shadrā adalah seorang filsuf, sementara Charles Darwin adalah seorang ilmuan atau saintis. Namun, bukan berarti mereka tidak dapat dibandingkan, karena keduanya memiliki teori mengenai kemunculan alam semesta dan segala isinya, yang memungkinkan terjadinya relasi antara kesamaan dan perbedaan. Titik kesamaan antara kedua tokoh ini terletak pada upaya mereka untuk memberikan penjelasan yang logis dan meyakinkan secara argumentatif kepada masyarakat sebagai bagian dari diskursus keilmuan. Al-Harakah Al-Jawhariyah menggugurkan argumen yang menyatakan bahwa substansi bersifat tetap, sedangkan teori keturunan modifikasi Darwinian memicu diskusi sengit dengan pandangan kreasionis. Dengan demikian, kedua tokoh ini berhasil menghidupkan kembali diskursus keilmuan di bidangnya masing-masing.

Kesamaan berikutnya antara kedua tokoh ini adalah bahwa melalui teori mereka, keduanya meniscayakan adanya perubahan secara evolutif. Mullā Shadrā berpendapat bahwa substansi, yang dapat berdiri sendiri, mampu berubah dari potensi menjadi aktual. Sementara itu, Darwin juga berargumen bahwa terdapat perubahan pada keturunan atau spesies, yang ia sebut modifikasi, yang berlandaskan variasi seperti ukuran, kepribadian, warna kulit, dan lain sebagainya. Keduanya tidak menentang keberadaan Tuhan.

Meskipun Darwin sering disebut atheis karena teorinya tidak membutuhkan Tuhan, pandangannya sebenarnya keliru. Faktor sosiologis pada masa itu mendorong masyarakat untuk mencari penjelasan yang logis dan runtut, sehingga ia merumuskan teori yang menegaskan bahwa alam semesta bersifat teratur dan tidak muncul secara acak. Ketika spesies muncul, mereka harus beradaptasi dengan alam semesta. Penjelasan ini secara implisit mengandaikan keberadaan Tuhan, yang dalam konteks sains dapat disebut sebagai prinsip kecerdasan.

Kendati demikian, teori evolusi tidak secara eksplisit mencantumkan keberadaan Tuhan, karena berfokus pada perubahan laju spesies yang menghasilkan seleksi alamiah, demikian pula dengan Mullā Shadrā. Ia tidak menentang keberadaan Tuhan dan terpengaruh oleh aliran iluminasi, yang memandang Tuhan sebagai cahaya yang memancar. Setiap wujud setelahnya memiliki secercah cahaya yang memungkinkannya untuk kembali mendekat kepada Sang Cahaya tersebut.

Adapun perbedaannya dalam proses evolusi, menurut Mullā Shadrā, evolusi tidak hanya terjadi pada aksiden, tetapi juga pada substansi. Justru, perubahan aksiden dimulai dengan perubahan substansinya. Sementara itu, bagi Darwin, evolusi hanya terjadi pada aksiden. Jika evolusi terjadi pada substansi, maka tidak akan ada evolusi, dan konsekuensinya adalah tidak ada persaingan dalam kehidupan.

Selain itu, terdapat perbedaan mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam kedua teori tersebut. Mullā Shadrā menyandarkan teorinya pada Tuhan sebagai Cahaya yang melimpahkan intensitas cahaya-Nya kepada wujud-wujud selanjutnya, di mana setiap wujud diberi tanda pencahayaan sebagai simbol untuk mendekat kepada Cahaya tersebut. Di sisi lain, teori Darwin tidak menjelaskan secara jelas siapa yang bertanggung jawab atas evolusi biologis. Mulyadhi Kartanegara mengkritik ketidakjelasan ini, menegaskan bahwa bagi Darwin, ‘seleksi alamiah’ adalah yang bertanggung jawab.

Namun, pertanyaan muncul: apakah seleksi alamiah benar-benar mendorong terciptanya evolusi biologis, sementara dorongan utama berasal dari makhluk hidup untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan alam? Jika dibandingkan dengan teori evolusi Rumi, teori Rumi lebih sesuai dengan prinsip agama bahwa alam semesta berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya, sementara teori Darwin terhenti pada tataran fisik dan memutus hubungan dengan aspek ketuhanan.[15] Selain itu, teori Mullā Shadrā lebih jelas dibandingkan dengan Darwin, karena Al-Harakah Al-Jawhariyah menyandarkan segala sesuatunya pada Tuhan dan menegaskan bahwa setiap wujud akan kembali kepada-Nya. Sebaliknya, Darwin mengalami kesulitan dalam menentukan siapa yang menggerakkan dan bertanggung jawab atas evolusi biologis.

Evolusi menurut Darwin dimulai dari tataran fisik, yang ia bagi menjadi spesies dan subspesies, sementara Mullā Shadrā memulai teori Al-Harakah Al-Jawhariyah dari tataran non-fisik, kemudian bergerak ke fisik, dan kembali ke non-fisik. Dari segi keterarahan, Mullā Shadrā lebih terarah dibandingkan Charles Darwin. Namun, fokus Darwin bukanlah untuk memecahkan siapa yang menciptakan alam semesta, melainkan untuk menjelaskan bagaimana proses alam semesta ini terwujud, meskipun hal itu juga berhubungan dengan sosok yang mengadakan alam semesta.

Di sisi lain, sebelum menguraikan teorinya, Mullā Shadrā berpendapat bahwa setiap wujud memiliki prinsip ambiguitas; di satu sisi, sebagai prinsip kesatuan, dan di sisi lain, sebagai prinsip kebinekaan. Ia juga melihat wujud sebagai aktualitas dan sekaligus potensialitas. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa potensialitas inilah yang menyebabkan adanya gerakan. Gerakan tidak terjadi dengan sendirinya; tentu ada yang menggerakkan, yaitu Al-Haqq.

Referensi:

Darwin, Charles. The Origin of Species by Means of Natural Selection. New York: Cambridge     University. 2009.

Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Lentera    Hati. 2006.

Kartanegara, Mulyadhi. Lentera Kehidupan. Bandung: Mizan. 2017.

Kartanegara, Mulyadhi. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas. Jakarta:     Erlangga. 2007.

Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman. Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam; Buku Kedua.      Bandung: Mizan. 2003.

Purnomo, Herry. Filsafat Sains, Intelektualisme dan Riset Untuk Perubahan. Jakarta: PT Kompas             Media Nusantara. 2023.

Ridley, Mark. How to Read Darwin. Yayasan Hindawi. 2024.

Taufik, Leo Muhammad. Teori Evolusi Darwin: Dulu, Kini dan Nanti. Jurnal Filsafat Indonesia. 2019. 2 (3): 100.

https://www-britannica-com.translate.goog/biography/Charles-Darwin#ref225881

[1] https://www-britannica-com.translate.goog/biography/Charles-Darwin#ref225881 diakses pada tanggal 7 Juni 2024

[2] Herry Purnomo, Filsafat Sains, Intelektualisme dan Riset Untuk Perubahan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2023), h. 82

[3] Leo Muhammad Taufik, Teori Evolusi Darwin: Dulu, Kini dan Nanti, (Jurnal Filsafat Indonesia, 2019: 2 (3)), h. 100

[4] Mark Ridley, How to Read Darwin, Yayasan Hindawi, 2024

[5] Charles Darwin, The Origin of Species By Means of Natural Selection, (New York: Cambridge University Press, 2009), h. 5

[6] Mark Ridley, How to Read Darwin, Yayasan Hindawi, 2024

[7] Herry Purnomo, Filsafat Sains, Intelektualisme dan Riset Untuk Perubahan, h. 82

[8] Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, h. 118

[9] Mark Ridley, How to Read Darwin, Yayasan Hindawi, 2024

[10] Substansi ialah suatu kuiditas yang ketika ada di alam eksternal, maka ia tidak berada pada satu lokus. Lawannya substansi ialah kuiditas (bayangan).

[11] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 107.

[12] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam; Buku Kedua, h. 919

[13] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam; Buku Kedua, h. 920

[14] Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam, h. 76

[15] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 146-147





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *