Penulis: Ridho Cahyadi Hareva
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

Di saat segala sesuatu berjalan serba cepat, dinamis, gila, dan melelahkan, muncul satu pertanyaan besar: Mengapa manusia tetap melanjutkan hidupnya?

Secara sederhana, manusia ‘ada’ hanya untuk berkembang biak. Budaya adalah aspek dari perjalanan peradaban yang berlangsung lama. Setelah proses panjang ini berjalan, terbangunlah akal dan budi yang membuat kita semakin “beradab”. Spesies yang paling dihormati di semesta ini mampu membuat sebuah sistem yang sangat kompleks, sampai kaum sejenisnya pun tidak terlalu paham apa yang telah terjadi kepadanya.

Antara Hidup dan Mati

Pergolakan antara naluri hidup dan rasionalitas untuk mati menjadi kendala di zaman yang serba cepat, gila, dan pesong ini. Kehidupan banyak menyuguhkan pertanyaan tentang hidup itu sendiri, pertanyaan-pertanyaan umum yang sering digaungkan seperti: “apa gunanya hidup kalau hanya terus-terusan merasakan kesusahan” atau “apa gunanya melanjutkan hidup jika tanpa orang yang dicinta” pertanyaan-pertanyaan yang tampak klise namun menjadi dasar paling banyak untuk orang melakukan praktik bunuh diri.

Hal itu karena, pada dasarnya, tujuan dari setiap makhluk hidup adalah menghindari kesengsaraan mengupayakan kebahagian, dengan sendirinya mengakhiri hidup menjadi opsi terakhir untuk bisa menghindari kesengsaraan, walaupun kematian belum tentu bisa membawa kebahagian.

Rasionalitas untuk mati pernah juga disampaikan filsuf Yunani kuno yaitu Seneca  “Seandainya kebebasan kita dihancurkan oleh seorang tiran atau kesehatan kita tidak sesuai dengan nalar, kematian mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dari pada terus hidup, dan bunuh diri, atau Euthanasia mungkin bisa diterima ”. Pandangan radikal sekaligus berbahaya ini disampaikan secara gamblang di dalam banyak surat-suratnya yang dibukukan dengan judul How to Die.

Bagi Seneca, hidup adalah kebebasan, hidup adalah perjalanan rasionalitas. Ketika manusia sudah kehilangan kebebasan dan irasional karena penyakitnya, saatnya mempersiapkan kematian. Refleksi yang radikal ini mampu membabat pola-pola ideal tentang hidup itu sendiri.

Bagi Albert Camus sendiri, bunuh diri bukanlah jalan keluar dari persoalan-persoalan hidup manusia, karena baginya walaupun hidup ladang keabsurdan tetapi hidup layak untuk dijalani dan dirayakan, dan cara satu-satunya untuk memahami arti kehidupan adalah menghadapi kemungkinan kematian.

Walaupun Camus tidak setuju dengan bunuh diri, namun baginya sebuah keniscayaan utuh dalam menghargai kehidupan adalah dengan memahami bahwa kematian tidak dapat dihindari, baginya dengan mengenal kematian lebih dekat manusia mampu untuk menghargai kehidupannya.

Dalam konteks ini, Camus menilai hidup hanyalah hidup, tidak ada makna di dalam kehidupan, tidak ada tujuan di dalam kehidupan, baginya hidup ini hanyalah keabsurdan yang hanya perlu dijalani dan diatasi, namun walaupun kehidupan tidak memiliki makna yang inheren.

Namun, baginya, manusia tetap bertanggung jawab atas moral dan harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam mewujudkan makna subjektif. Menurutnya, walaupun seorang nihilisme mengakui yang namanya kehampaan eksistensi bukan berarti dia dapat terlepas dari tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis.

Pertaruhan Eksistensi Manusia

Adapun di zaman dewasa ini, alasan paling banyak untuk melakukan praktik bunuh diri adalah keputusasaan. Putus asa sering kali terjadi karena adanya optimisme yang menciptakan sebuah harapan. Dalam hidup, seringkali sebuah harapan tidak sejalan dengan realita, yang mana beban ekspektasi membuat individu dirundung kegelisahan. Dalam hal ini, penerimaan atas realitas akan sulit untuk dicapai karena adanya harapan.

Dengan kata lain, rasionalitas sangat berperan aktif untuk membebaskan dari keterpurukan itu, yang di mana orientasi optimisme haruslah berlandaskan rasionalitas. Oleh karena itu, pertimbangan akan kegagalan dan keberhasilan dapat ditimbang dengan logis. Namun, margin of error akan selalu ada di setiap aspek kehidupan, walaupun hal tersebut sudah ditimbang secara ketat dan disiplin.

Tak syak, bagi Max Horkheimer, filsuf asal Jerman, berpendapat bahwa “harapan akal budi terletak pada emansipasi dari ketakutan kita akan keputusasaan”. Bagi Max Horkheimer, akal budi sangat berperan aktif dalam membebaskan ketakutan dan keputusasaan, oleh karena itu hanya pengetahuan yang mapan yang bisa membawa manusia kepada pencerahan sejati.

Manusia harus mengendalikan realitasnya sendiri, dan nalar adalah instrumen kendalinya. Selain itu, manusia yang hadir dengan segala macam kepelikannya berupaya berlari tunggang-langgang mencari sandaran untuk mengatasi kebingungan-kebingunannya. Sebuah kebingungan yang menyandera adalah suatu keharusan bagi manusia yang berakal budi untuk terus menuntut pengetahuan dari hidup yang dia jalani.

Dengan demikian, pergolakan di dalam pikirannya tidak akan pernah selesai. Namun, kesalahan paling fundamental dari manusia adalah mencoba mendefinisikan “hidup” itu sendiri. Mendefinisikan suatu hal yang sudah sangat melekat hanya akan mengurung dan mengurangi nilai-nilai yang sudah terkandung lama.

Cobalah banyangkan: hidup adalah sebuah pintu. Kita manusia yang memiliki Akal Budi menggedor pintu tersebut, terus menggedor dan menggedor, bukan hanya sekadar untuk minta dipersilakan masuk, tetapi karena kita butuh masuk. Kita tidak tahu mengapa, namun kita bisa merasakan dorongan itu, rasa kegelisahan untuk segera masuk, dan karena itu kita terus menggedor, menendang, mendorong, dll.

Hingga pada akhirnya, pintu itu terbuka, yang kita temukan bahwa pintu itu terbuka keluar: ternyata selama ini kita sudah berada di dalam ruangan yang selalu ingin kita masuki. Begitulah keabsurdan dalam mendefinisikan hidup, hal yang sudah sangat melekat akan sukar untuk didefinisikan dan malahan akan menimbulkan suatu hal yang paradoks.

Referensi

Seneca. (2020). How to Die: Sebuah Panduan Kuno untuk Mati.

Camus, A. (2020). Mitos Sisifus.

Stevenson, M. (2018). Hope & Despair: Philosophical considerations for uncertain times. The Revealer. https://therevealer.org/hope-despair-philosophical-considerations-for-uncertain-times/



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 + 8 =