Neo-Posmodernisme dan Gejolak Timur Tengah

Stats: 96 Views | Words: 642

4 minutes Read








Penulis: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

Editor: Murteza Asyathri

Pasca Perang Dunia II, gagasan modernisme yang sarat akan narasi besar dan hegemoni tunggal mulai dianggap usang, yang mana memberi jalan bagi kemunculan posmodernisme. Paradigma ini ditandai oleh afirmasi terhadap berbagai struktur sosial, teknologi, dan realitas baru, termasuk dunia simulasi dan hiperrealitas. Melalui lensa posmodernisme, konflik yang melibatkan Iran, Israel, dan situasi di Palestina dapat dipandang sebagai keniscayaan. Dahulu, hegemoni Barat, yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, mendominasi panggung global. Namun, kini pengakuan akan berakhirnya hegemoni tersebut telah meluas, bahkan di kalangan masyarakat Barat sendiri.

Di era kontemporer, masyarakat dunia tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat agama, budaya, ras, dan golongan. Saat menyaksikan kezaliman yang menimpa bangsa Palestina, suara-suara solidaritas menggema dari seluruh penjuru dunia. Demikian pula, ketika Israel menyerang Iran, reaksi global mengemuka, menegaskan hak Iran untuk melakukan bela diri (self-defense). Fenomena ini mencerminkan pergeseran fundamental dalam persepsi global terhadap keadilan dan kemanusiaan, melampaui batasan-batasan identitas tradisional.

Di Iran, transisi dari monarki Syah menuju Republik Islam pasca-Revolusi 1979 menjadi contoh nyata pergeseran ke arah posmodernisme. Ini adalah representasi bagaimana identitas dan nilai-nilai keagamaan dapat menjadi kekuatan pendorong di tengah runtuhnya narasi modern yang sekuler. Dalam posmodernisme, menurut Jean Baudrillard, batasan antara kenyataan dan citra menjadi kabur. Jean-François Lyotard, dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984), mengidentifikasi ciri kebudayaan posmodern, seperti masyarakat komputerisasi, runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi. Ledakan industri media massa di era posmodernisme telah mengubah cara kita memahami realitas, menjadikan dunia terasa sempit dan media berfungsi sebagai ‘ideologi’ yang membentuk perilaku.

Hubungan Islam dan Barat di era posmodernitas awal kerap diwarnai ketegangan. Citra buruk Islam di media Barat yang mengidentikkannya dengan kekejaman dan fanatisme adalah contoh nyata dunia simulasi dan hiperrealitas Baudrillard, di mana citra mengalahkan fakta. Menurut Akbar S. Ahmed, ketakutan Barat terhadap potensi perlawanan dari dunia Islam, terutama setelah keruntuhan komunisme, menjelaskan mengapa pencitraan negatif terhadap Islam terus muncul.

Namun, kondisi kini berbalik karena citra Islam, dengan narasi agamanya, justru semakin baik karena keberpihakannya pada keadilan dan kemanusiaan. Ketidakberdayaan bangsa Palestina di hadapan serangan Israel yang didukung pemerintah Amerika Serikat, telah menjadikan Israel sebagai ‘musuh bersama’. Akibatnya, pihak mana pun yang berani melawan Israel dianggap sebagai ‘pahlawan’. Kini, tanpa memandang latar belakangnya, mayoritas masyarakat dunia mendukung perjuangan Iran dalam melakukan perlawanan dengan mengirimkan rudal balistik ke Israel.

Di tengah konflik Israel dan Iran, serta penderitaan di Palestina, kita melihat bagaimana berbagai narasi saling berbenturan: narasi Zionisme, narasi perlawanan Palestina, dan narasi Iran mewarnai panggung global yang serba relatif. Runtuhnya meta-narasi modern memungkinkan setiap pihak membangun “kebenaran” mereka sendiri, yang diperkuat oleh validitas media sosial dan retorika politik. Kendati demikian, ada hal yang tidak lagi sepenuhnya sesuai dengan karakteristik posmodernisme klasik yang dikemukakan Akbar S. Ahmed, yakni pemberontakan kritis terhadap modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama transenden (meta-narasi), dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.

Justru, dewasa ini, masyarakat dunia semakin mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang adil dan zalim. Dengan demikian, fenomena di Timur Tengah saat ini adalah cerminan kompleks dari lahirnya Neo-Posmodernisme. Era ini menyajikan dua pilihan krusial: memilih bersama penindas atau bersama yang tertindas, menandakan adanya kebangkitan kembali kapasitas moral dan etika kolektif.

Dalam era Neo-Posmodernisme, kita menyaksikan kebangkitan kembali meta-narasi, sebuah tanda kelelahan masyarakat dunia terhadap relativisme yang tak berujung. Ini bukan kembali pada hegemoni tunggal ala modernisme, melainkan pertemuan berbagai entitas yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Masyarakat dunia, meskipun terdiri dari beragam budaya dan keyakinan, dapat menemukan titik temu dalam prinsip-prinsip universal kebenaran dan keadilan. Neo-Posmodernisme menawarkan harapan bahwa di tengah gejolak global, manusia dapat melampaui fragmentasi dan bersatu untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan mendasar.

Referensi

Ahmed, Akbar S. Postmodernism and Islam: Predicament and Promise. Routledge, 1992.

Ahmed, Akbar S. Posmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam. Bandung: Mizan. 1996.

Lyotard, Jean-François. The Postmodern Condition: A Report on Knowledge. Translated by Geoff Bennington and Brian Massumi, University of Minnesota Press,1984.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *