Penulis: Afwillah
Editor: Fitria Zahrah
Design: Mardhiyyah
Ketika bicara otoritas dalam konteks agama, salah satu gagasan paling populer adalah otoritas religius sebagai otoritas karismatik: bahwa sumber otoritas dalam suatu agama adalah kualitas individu seseorang yang dianggap sebagai manusia istimewa dan terpilih. Termasuk ke dalam kategori tokoh karismatik ini adalah nabi, rasul, pastor, pendeta, ulama, guru, dll. Inilah pendekatan yang biasa disebut pendekatan Weberian.
Prof. Ismail Fajrie Alatas, dalam karyanya “What is Religious Authority?” menghadirkan versi otoritas religius yang berbeda. Menurutnya, pendekatan karismatik versi Weberian relevan untuk menjelaskan kemunculan suatu otoritas agama yang fundamental (nabi/rasul), namun tidak cocok untuk otoritas yang hadir setelah agama itu mapan (ulama, pastor, pendeta, guru, dll). Di buku ini Ismail lebih berfokus pada otoritas yang kedua, terutama figur Habib Luthfi bin Yahya, yang dianggap sebagai ulama, habib, sekaligus sufi.
Lalu, apa itu otoritas religius? Otoritas religius adalah suatu relasi yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu kenabian untuk menerapkan ajaran agama. Definisi ini Ismail adopsi dari definisi otoritas versi Hannah Arendt. Seorang tokoh otoritas religius harus “dipercaya” memiliki hubungan dengan masa lalu kenabian. Dalam konteks Islam, hubungan itu bisa berupa nasab atau silsilah. Ia harus terhubung dengan nabi entah melalui ikatan darah atau keilmuan. Keterhubungan atau relasi dengan masa lalu kenabian itulah yang menjadikan otoritasnya “sah”.
Tidak berhenti di situ, seorang tokoh otoritas religius juga harus mampu menerjemahkan ajaran agama yang didasarkan pada masa lalu kenabian itu ke dalam konteks masa kini. Ia harus mengajarkan ajaran itu kepada jamaahnya. Dan yang tak kalah penting, pengajaran itu juga harus dilakukan tanpa menggunakan paksaan, apalagi dalam bentuk kekerasan. Ketiadaan paksaan inilah yang membedakan otoritas religius dari otoritas lain, misalnya otoritas tradisional dan legal-rasional.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara supaya otoritas religius itu bisa bertahan lama? Untuk menjawab ini, Ismail mendasarkan pemikirannya pada Bruno Latour dan Hannah Arendt. Dari Latour, ia mengadopsi ide bahwa apa yang sering kita sebut “sosial” sesungguhnya adalah jejaring entitas-entitas yang sendirinya tidak bersifat sosial. Hanya ketika jejaring itu terbentuk, maka ia bisa disebut sebagai “sosial”.
Dengan kata lain, otoritas religius hanya menjadi otoritas religius apabila terbentuk jejaring yang berisikan entitas-entitas tertentu. Entitas di sini bisa manusia (habib), kelompok manusia (jamaah), benda (teks), dan institusi (negara, ormas). Hanya ketika semuanya terhubung satu sama lain, maka otoritas religius bisa muncul dan bertahan.
Dari Hannah Arendt, Ismail menjelaskan bahwa keajegan otoritas religius dipertahankan melalui kerja-kerja yang dilakukan oleh sang tokoh dan orang-orang di sekitarnya. Kerja di sini maksudnya labor. Labor adalah kerja yang dilakukan untuk menunjang kehidupan. Labor berbeda dari work yang yang tujuannya hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia.
Kerja atau labor seorang tokoh otoritas religius bisa mencakup belajar, mengajar, ibadah, dan menjalin relasi dengan banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh lain dari organisasi agama dan non-agama. Jadi, otoritas religius tak bisa hanya sekedar didapatkan, tapi juga harus dipertahankan secara terus menerus melalui kerja-kerja nyata.
Implikasi dari perumusan otoritas religius versi Ismail Fajrie Alatas ini adalah bahwa suatu otoritas religius selalu terikat konteks sosial tertentu. Ia selalu dibentuk oleh faktor politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, di sini batas antara agama dan kehidupan sehari-hari tidak berlaku.
Karena implikasi ini juga, Ismail lebih memilih istilah jamaah, daripada umat dalam konteks masyarakat Islam. Jamaah bentuknya lebih konkrit dan plural, sepadan dengan istilah komunitas. Sedangkan umat lebih berkonotasi menyeluruh dan tunggal. Oleh karena itu, seringkali otoritas religius hanya “sah” dalam sudut pandang jamaah tertentu. Tidak ada otoritas religius tunggal yang berkuasa atas umat. Karena tidak ada otoritas tunggal, maka tidak ada penafsiran tunggal atas agama.
Secara keseluruhan, Ismail Fajrie Alatas tidak berbicara otoritas agama dalam sudut pandang agama itu sendiri. Karyanya adalah karya sosiologis dan dikerjakan dalam rambu-rambu keilmuan sosiologi-antropologi. Ia tidak menulis buku fiqih, tetapi buku sosiologi agama dan sosiologi budaya. Dan otoritas religius adalah realitas sosiologis.
Referensi:
Alatas, Ismail Fajrie. (2021). What is Religious Authority?. New Jersey: Princeton University Press.
Weber, Max. (2019). Economy and Society. Massachusetts: Harvard University Press.
Latour, Bruno. (2005). Reassembling the Social. New York: Oxford University Press.