Perempuan dan Konstruksi Sosial

Stats: 74 Views | Words: 604

4 minutes Read








Penulis: Abraham Alex Tanu Wijaya
Editor: Murteza Asyathri

Setiap bayi yang lahir ke dunia ini langsung diberi label laki-laki atau perempuan, seolah identitas tersebut sudah pasti sejak lahir, tanpa pertanyaan. Namun, jika kita melangkah lebih jauh, muncul pertanyaan: apakah kita benar-benar dilahirkan sebagai perempuan, ataukah kita dibentuk oleh konstruksi sosial dan budaya? Simone de Beauvoir, filsuf feminis terkemuka, dengan tegas menyatakan, “One is not born, but rather becomes, a woman.”

Pandangan ini merupakan inti dari buku monumental De Beauvoir, The Second Sex (1949), yang menentang gagasan bahwa perempuan adalah entitas biologis yang ditentukan oleh alam. Menurutnya, perempuan bukanlah sesuatu yang terlahir begitu saja, melainkan dibentuk oleh masyarakat melalui norma dan harapan yang dipaksakan. De Beauvoir menegaskan bahwa menjadi perempuan adalah proyek eksistensial—pilihan yang dihadapi setiap individu, bukan takdir yang telah ditentukan.

Mitos Perempuan dan Peran Sosial yang Terbentuk

De Beauvoir mengkritik pandangan masyarakat terhadap perempuan melalui “mitos perempuan”—narasi yang menggambarkan perempuan sebagai makhluk penuh pengorbanan, lembut, dan di bawah laki-laki. Dalam mitos ini, perempuan hanya dilihat sebagai objek pandangan laki-laki, bukan sebagai subjek dengan kehendak dan kebebasan. Mitos ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari dongeng yang menggambarkan perempuan menunggu diselamatkan hingga norma sosial yang memaksakan peran domestik dan keluarga. Budaya populer sering memuja kecantikan sebagai syarat utama kesuksesan perempuan, sementara karakter, intelektualitas, atau pencapaian dianggap kurang penting. Perempuan yang tidak mematuhi peran ini dianggap “melawan kodrat” atau menjadi anomali dalam tatanan sosial.

De Beauvoir berpendapat bahwa mitos ini bukan sekadar cerita belaka, melainkan alat dominasi yang menjerat perempuan dalam peran-peran yang membatasi kebebasan mereka. Dalam pandangan patriarkis, kebebasan perempuan sering dianggap sebagai ancaman, bukan sebagai hak yang seharusnya dimiliki. Oleh karena itu, De Beauvoir menggugat pembentukan identitas perempuan melalui pendekatan sosial yang menindas ini dan mendorong perempuan untuk mencari cara agar dapat bebas memilih jalan hidup mereka sendiri.

Menjadi Perempuan Adalah Sebuah Pilihan Eksistensial

Menurut De Beauvoir, menjadi perempuan bukanlah hasil takdir biologis atau kodrat alam, melainkan pilihan yang dijalani melalui tindakan sadar dan eksistensial. Ia menulis bahwa kebebasan menentukan diri adalah inti eksistensi manusia. Namun, kebebasan ini tidak mudah dijalani, karena perempuan sering menghadapi rintangan sosial, budaya, dan psikologis yang menyulitkan mereka mengatasi peran yang ditentukan masyarakat. Ketakutan akan penolakan atau dianggap “tidak feminin” sering menjadi penghalang besar dalam perjuangan meraih kebebasan ini.

Penting dicatat bahwa De Beauvoir tidak menyarankan perempuan sepenuhnya menolak peran tradisional. Sebaliknya, ia menekankan bahwa perempuan harus memiliki kebebasan memilih, apakah menjadi ibu rumah tangga, berkarir, atau menjalani kehidupan sesuai keinginan mereka. Menjadi perempuan, menurut De Beauvoir, adalah proses berkelanjutan—bukan status yang diberikan sejak lahir, melainkan perjalanan untuk mengatasi pembatasan sosial dan menciptakan ruang bagi kebebasan diri.

Konstruksi Identitas Perempuan

Kasus Harvey Moies harus menjadi titik balik bagi Indonesia dalam merancang sistem hukum. Pandangan Simone de Beauvoir mengajak kita melihat perempuan bukan sebagai makhluk dengan peran bawaan, melainkan sebagai individu yang berhak memilih identitasnya. Identitas perempuan, seperti identitas manusia pada umumnya, adalah konstruksi sosial yang bisa dan seharusnya dibentuk ulang. Dengan mengutamakan kebebasan individu dan mendekonstruksi norma yang ada, perempuan dapat mengambil kendali atas hidup mereka tanpa terjebak dalam mitos dan batasan sosial yang telah lama tertanam.

De Beauvoir mengingatkan bahwa menjadi perempuan adalah sebuah pilihan yang melibatkan kebebasan, perjuangan, dan keberanian untuk mendefinisikan ulang diri di luar konstruksi patriarkis yang sudah ada. Apabila kita melihat perempuan tidak sebagai hasil dari kodrat, tetapi sebagai pilihan eksistensial yang tak terbatas, maka kita akan menemukan jalan menuju dunia yang lebih adil dan setara.

Referensi:

De Beauvoir, S. (1949). The Second Sex. Vintage.

Tong, R. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Boulder: Westview Press.

Beauvoir, S. de. (2011). The Second Sex. Trans. Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier. New York: Vintage Books.

 

 

 





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *