Secara etimologis, kata “filsafat” tidak berasal dari bahasa Indonesia. Perkembangan kata filsafat merupakan serapan dari kata Inggris “philosophy” turunan dari terma philia, sophia bahasa Yunani yang berarti ilmu pencarian kebijaksanaan. Namun, karena filsafat adalah pencarian kebijaksanaan maka nusantara tentu juga memiliki khazanah pencarian kebijaksanaannya sendiri.
Pencarian kebijaksanaan nusantara dapat ditemukan dalam kebudayaan. Seperti diuraikan M. Nasroen, unsur-unsur filosofis terdapat dalam kebudayaan kita. Pemikiran-pemikiran primordial dan praktik filosofis tercermin dalam konsep mupakat, pantun-pantun, Pancasila, konsep gotong-royong, kekeluargaan, dan masih banyak lagi.
Pada perkembangannya, interaksi kebudayaan Nusantara dengan pengaruh dari luar menyebabkan iklim kefilsafatan kita berisi corak pemikiran yang bervariasi. Hari-hari ini kefilsafatan Indonesia modern telah mendapat pengaruh filsafat barat, filsafat buddhisme-hinduisme, filsafat Islam, filsafat Tiongkok dll. Berikut Zona Nalar uraikan beberapa fase perkembangan tersebut.
Corak Etnis
Pemikiran-pemikiran etnis terdiri dari mitologi, legenda, cerita rakyat, dan epik-epik yang berisi tuntunan hidup bagi masyarakat asli nusantara. Tentunya tiap etnis dalam wilayah nusantara memiliki epik nya masing-masing. Namun pada dasarnya semua epik tersebut memberi tuntunan hidup yang baik.
Salah satu contohnya adalah epik “sangkan paraning dumadi”. Masyarakat Jawa kuno mendeskripsikan asal dan tujuan hidup dalam perspektif transenden, dari ruh agung di alam seberang setelah kehidupan. Maka dalam hidup kini, yang serba jasmani manusia perlu mendekati sifat-sifat transendental tersebut antara lain nilai jujur, adil, tanggung-jawab, peduli, sederhana, ramah, disiplin dan seterusnya.
Pengaruh Budhisme, Hinduisme Dan Keislaman.
Kedatangan para biksu Budha melalui jalur perdagangan India-Asia tenggara memberikan pengaruh filosofis baru bagi kefilsafatan nusantara. Puncaknya, I-Tsing seorang pujangga Budhha termasyhur mengunjungi Sriwijaya pada 671 masehi. Ia menulis dalam catatan perjalanannya, Sriwijaya menjadi pusat pengajaran terbesar agama Buddha di wilayah Asia.
Perdagangan jalur sutra juga turut membawa para Brahmana Hindu ke nusantara. Menyebabkan ajaran Hindu turut digunakan sebagai tuntunan hidup kemasyarakatan, salah satunya dalam kemasyarakatan kerajaan Kutai Kartanegara. Tuntunan hidup filsafat Buddha menekankan pelepasan segala bentuk kehendak diri sedangkan tuntunan hidup filsafat Hinduisme berusaha mencapai sanatha darma, yakni bentuk kebenaran yang abadi.
Baru pada 1400 an, masuklah pengaruh keislaman dibawa oleh para pujangga persia dan gujarat. Kuatnya pengaruh Islam ditandai juga dengan munculnya berbagai kerajaan Islam di Nusantara seperti Samudra Pasai. Corak filsafat sufistik Nusantara mula-mula didominasi Ghazalisme dan Ibn-Arabisme, khususnya di dalam tuntunan hidup Al Ghazali manusia perlu melalui tindak kesabaran, zuhud, tawakal, serta ma’rifat.
Politik Etis
Pasca pengaruh Budhisme, Hinduisme, dan Keislaman, nusantara mengalami masa kolonialisme yang sangat panjang. Pemerintah kolonial Belanda yang memimpin nusantara sejak abad 16 menghambat kebebasan serta perkembangan pendidikan bagi masyarakat nusantara. Barulah di tahun 1900 kerajaan Belanda menerbitkan kebijakan politik etis sebagai bentuk balas budi kepada masyarakat nusantara.
Dalam politik etis beberapa golongan masyarakat nusantara diijinkan menempuh pendidikan yang setara dengan pihak kolonial Hindia Belanda. Anak-anak bumi putra tersebut terdiri dari para bangsawan yang kelak akan menjadi tokoh-tokoh penting pergerakan. Beberapa nama tersebut diantaranya adalah Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan masih banyak lagi.
Tokoh-tokoh bumi putra terpapar oleh isu-isu humanisme dalam filsafat barat. Misalnya, permenungan filosofis Soekarno atas Pancasila dipengaruhi juga oleh gagasan politik sayap kiri pasca revolusi Perancis dengan semboyan liberte (kebebasan), egalite (kesetaraan), dan fratenite (kekeluargaan). Maka nusantara bersatu yang kelak kita sebut Indonesia juga turut dibangun dari cetak biru filosofi barat.
Sang Demagog
Setelah merdeka, spektrum kefilsafatan Indonesia sebenarnya telah lengkap. Tumbuhnya pengaruh barat, diimbangi pula dengan masih kuatnya studi filsafat ketimuran. Ditandai dengan didirikannya fakultas filsafat UGM tahun 1967 serta berdirinya STFT Driyarkara pada 1969.
Namun pasca merdeka, Indonesia melalui beberapa era rezim totaliter antara lain era Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Hal ini berimbas pada terbatasinya kefilsafatan untuk memasuki ranah praksis. Di barat, perkembangan filsuf seperti Foucault atau Sartre bisa menyuarakan argumen filosofis nya di ruang publik misalnya dalam demonstrasi besar-besaran pasca pembunuhan Pierre Overney 1972.
Sedangkan unjuk rasa yang didasari nalar kebebasan tahun 1974 di Indonesia berakhir dengan kekerasan rezim totaliter dalam peristiwa Malari. Terdapat garis merah antara situasi kebebasan dan kefilsafatan. Semenjak era Sokrates Dialektika hanya bisa hidup dalam kebebasan dan secara paradoksal dialektika juga yang akan membebaskan. Sejauh kebebasan masih dibelenggu totalitarianisme, secepat itulah kekuatan pembebasan dari nalar akan memberontak.
Editor: Ahmed Zaranggi
Sumber:
–https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Indonesia
https://www.kompasiana.com/mertamupu/inti-ajaran-hindu_
https://id.wikipedia.org/wiki/Buddhisme_di_Indonesia_
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
One thought on “Perkembangan Filsafat Di Indonesia”