Puasa dan Filsafat Perlawanan

Stats: 124 Views | Words: 875

5 minutes Read








Penulis: Wa Ode Zainab Zilullah Toresano

Editor: Murteza Asyathri

Pada pertengahan bulan Ramadhan 2025 ini, dunia sedang tidak baik-baik saja. Di Indonesia, masyarakat harus menelan pil pahit pengesahan UU TNI pada Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II 2024-2025 sebagai usulan revisi dari Pemerintah dan DPR RI. Padahal, sebagian besar bangsa ini sedang melaksanakan ibadah puasa. Namun, hal itu tidak menyurutkan sejumlah elemen untuk turun ke jalan sejak 20 Maret 2025 untuk mengkritisi kebijakan tesebut. Dalam kurun waktu ini aksi demonstrasi dilakukan di Jakarta dan berbagai daerah. Bahkan, perjuangan juga dilakukan melalui kampanye di media sosial.

Di belahan bumi lainnya, Zionis Israel melanggar kesepakatan gencatan senjata pada 18 Maret 2025 dengan melancarkan serangan udara ke Gaza. Ini merupakan operasi militer illegal yang mengorbankan sekitar 404 warga Palestina. Padahal sebagian besar bangsa Palestina sedang menjalani ibadah puasa. Tentunya serangan ini mendapatkan kecaman dari elemen Masyarakat di berbagai negara. Bahkan, sebelumnya AS menyerang Yaman yang menelan 53 korban jiwa di Laut Merah.

Puasa memang merupakan praktik spiritual yang ditemukan dalam berbagai tradisi agama-agama dan sejumlah kepercayaan. Kendati demikian, puasa tidak hanya sebagai ritual keagamaan, tetapi juga memiliki dimensi sosial-politik yang mendalam. Sejarah mencatat bahwa puasa kerap digunakan sebagai strategi perlawanan terhadap kezaliman dan menegakkan keadilan. Filosofi puasa sebagai perwujudan dari resistensi mencerminkan kekuatan moral dalam melawan kekuasaan yang despotik.

Gerakan Perlawanan Melalui Puasa

Dengan merujuk pada Sejarah, kita dapat mengetahui apa yang terjadi kini, teutama bagaimana kekuasaan beroperasi. Sedangkan penyelidikan sejarah masa lalu dilakukan untuk mencari retakan suatu zaman (discontinuity), salah satunya bagaimana beroperasinya kekuasaan (geneology of power).

Pertama, Mahatma Gandhi dan Perjuangan Anti-Kolonial. Mahatma Gandhi menjadikan puasa sebagai bagian dari strategi satyagraha (perlawanan tanpa kekerasan). Dalam bukunya “The Story of My Experiments with Truth” (Gandhi, 1927), Gandhi menyebut puasa sebagai “senjata yang paling murni” dalam melawan kezaliman kolonial. Salah satu aksinya yang terkenal adalah puasa selama 21 hari pada tahun 1943 sebagai protes terhadap kebijakan Inggris yang menyebabkan kelaparan di Bengal.

Kedua, Gerakan Perlawanan di Nusantara. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, praktik spiritual seperti tirakat dan puasa acap kali dikaitkan dengan perjuangan melawan penjajah. Pangeran Diponegoro, dalam perjuangannya melawan Belanda pada Perang Jawa (1825-1830), dikenal melakukan tirakat dan puasa untuk menguatkan mental dan spiritualnya. Peter Carey dalam bukunya “Pangeran Diponegoro: Sang Pangeran dalam Perang Jawa” (2018) menjelaskan bagaimana puasa menjadi bagian dari strategi spiritual Diponegoro.

Ketiga, Cesar Chavez dan Gerakan Buruh di Amerika Serikat. Cesar Chavez, seorang aktivis hak pekerja migran di Amerika Serikat, menggunakan puasa sebagai bentuk protes damai. Pada tahun 1968, Chavez berpuasa selama 25 hari untuk menyerukan keadilan sosial bagi buruh pertanian. Menurutnya, puasa pertama-tama bersifat pribadi untuk pemurnian tubuh, pikiran, dan jiwanya sendiri. Namun, puasa menjadi pemurnian dan penguatan sepenuh hati bagi gerakan kerja pertanian (The Story of Cesar Chavez, Union Farm Workers, 2018).

Keempat, Solidaritas bagi Palestina pada Ramadan. Di Palestina, selama bertahun-tahun, momentum puasa Ramadan tidak hanya menjadi ibadah, tetapi juga simbol keteguhan melawan penjajahan Zionis Israel. Selain itu, umat Islam di penjuru dunia akan menggelar Hari Internasional Al Quds pada setiap Jumat terakhir bulan Ramadhan. Aksi solidaritas ini merupakan wujud dukungan masyarakat dunia terhadap kemerdekaan sepenuhnya bangsa Palestina. Puasa justru memperkuat semangat juang dan solidaritas di tengah krisis kemanusiaan yang menimpa Palestina.

Filosofi Puasa sebagai Perlawanan

Puasa memiliki dimensi filosofis yang mendalam, salah satunya sebagai strategi perlawanan. Dalam tataran etika, puasa dapat menumbuhkan solidaritas. Puasa menumbuhkan empati terhadap kaum yang tertindas, sebagaimana dipaparkan Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Science and Civilization in Islam bahwa pengalaman spiritual melalui puasa menumbuhkan kesadaran moral yang mendorong aksi sosial.

Kemudian, puasa dapat menekankan pada transendensi dan spirit kebebasan eksistensial. Dalam filsafat Islam, Syed Muhammad Naquib al-Attas menyoroti bahwa puasa berfungsi membebaskan manusia dari keterikatan duniawi, sehingga memberikan kekuatan batin untuk melawan kezaliman dengan niat yang kuat.

Dalam kerangka filsafat, puasa menumbuhkan pengendalian diri. Puasa merupakan salah satu praktik dalam rangka pengendalian diri yang bertujuan memperkuat disiplin diri. Michel Foucault, dalam teorinya tentang ‘technology of the self’, menekankan bahwa praktik diri, melalui tradisi spiritual seperti puasa, dapat memperkuat individu dalam menghadapi tekanan eksternal, termasuk kekuasaan yang menindas.

Bahkan, dalam kerangka epistemologis dan ontologis. Puasa membuat manusia memiliki kejernihan jiwa yang berimplikasi pada penglihatan mendalam terhadap kebenaran. Bahkan, potensi tidak jatuh terhadap fallacy of reasoning (kesesatan penalaran) bisa terwujud melalui ritual penyucian diri, terlebih lagi puasa. Selain itu, puasa membuat manusia menyelami kediriannya dalam kekosongan tanpa distraksi. Sehingga, pengenalan terhadap diri ini tidak hanya mengantarkan pada perjalanan spiritual, tetapi juga perjuangan terhadap kemanusiaan.

Oleh karena itu, puasa bukan sekadar ritual spiritual, tetapi juga merupakan strategi moral yang efektif dalam melawan kezaliman. Melalui puasa, setiap manusia belajar mengendalikan diri, mengasah empati, dan spirit melawan kezaliman. Sejarah mencatat bahwa puasa telah menjadi senjata yang ampuh dalam menentang kekuasaan yang despotik atau praktik kezaliman yang membabi-buta. Tidak hanya dalam kerangka aksiologis, tetapi juga ontologis dan epistemologis. Mengingat relevansinya, puasa layak dipahami dan diterapkan dalam konteks perjuangan keadilan sosial.

Referensi:

Abu-Lughod, Lila. “Ramadan in Resistance: The Role of Fasting in Palestinian Struggles.”Journal of Islamic Studies, Vol. 26, No. 2, 2015.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993.

Carey, Peter. Pangeran Diponegoro: Sang Pangeran dalam Perang Jawa 1825-1830. Jakarta: Komunitas Bambu, 2018.

Chavez, Cesar. The Words of Cesar Chavez. Texas: Texas A&M University Press, 2002.

Gandhi, Mahatma. The Story of My Experiments with Truth. Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1927.

Nasr, Seyyed Hossein. Science and Civilization in Islam. Harvard University Press, 1968.

https://www.tempo.co/politik/uu-tni-disahkan-menhan-sjafrie-sjamsoeddin-ucapkan-terima-kasih-ke-masyarakat–1222042





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *