Sains dan Krisis Lingkungan

Stats: 48 Views | Words: 615

4 minutes Read




Seyyed Hossein Nasr, filsuf Muslim kontemporer berkebangsaan Iran yang tinggal di Amerika Serikat, berpandangan bahwa modernitas merupakan kondisi dimana kesadaran terhadap Tuhan telah tercerabut. Menurutnya, alam dalam atmosfer “modernitas” bukan lagi milik Tuhan, sehingga manusia berkuasa atas alam. Konsekuensinya, manusia berhak melakukan apa saja yang dikehendakinya. Manusia menciptakan ilmu pengetahuan atau sains. Kendati demikian, sains yang diciptakan manusia modern tidak berdasarkan cahaya intelek (Nasr, 1983: 6), tetapi berdasarkan penalaran dan pengamatan indrawi. 

Sains yang diciptakan manusia modern alih-alih dapat membahagiakan, justru mengundang permasalahan yang mendalam, salah satunya adalah krisis lingkungan. Sebagaimana tercermin dalam beberapa tahun terakhir, tindakan agresif demikian mencolok terhadap alam; seperti tumpahan minyak yang besar, pembakaran hutan tropis, pembalakan liar, dan eksploitasi terhadap alam lainnya. Sehingga, tindakan tersebut  memicu pemanasan iklim, serta penipisan lapisan ozon (Nasr, 2022: 7).

Mengapa sains justru menimbulkan permasalahan lingkungan? Terkait dengan pertanyaan ini, Nasr menegaskan bahwa sains modern melepaskan sisi Ketuhanan yang berimbas pada teknologi yang diciptakannya, yang mana hanya untuk memuaskan keserakahannya. Pada akhirnya, terjadi ketidakseimbangan pada sains modern yang menyebabkan adanya “krisis lingkungan”. Dalam konteks ini, teknologi sebagai produknya tidak netral; artinya, jika anda menggunakan teknologi tertentu dengan baik tetap mengakibatkan hal yang buruk. 

Misalnya, Anda menaiki mobil dengan baik, nyaman dan tanpa gangguan, begitu juga dengan pengendara lainnya di sekitar; Anda mungkin mengira sudah mengendara dengan baik dan tanpa ada masalah, tetapi sadarilah bahwa mobil yang Anda pakai menyebabkan pemanasan global dan dapat menghancurkan banyak ekosistem. Namun, bagaimana dengan orang-orang yang memang tidak bisa lepas dari teknologi? Apakah teknologi harus dihindari? Dalam konteks kekinian, kita tidak mungkin melepaskan diri dari kemajuan teknologi. Namun sebagai pengguna teknologi, kita perlu kritis terhadap teknologi apa yang kita pakai; selama dampak yang ditimbulkan dari teknologi tersebut berskala kecil atau tidak mempunyai dampak buruk sama sekali. 

Di samping sains modern dan berbagai dampak buruknya, kita perlu menarik sains pada ‘sains yang sebenarnya’, yakni sains yang tidak melepaskan ikatannya dengan Tuhan dan mengembangkannya menjadi sains yang sama sekali tidak menimbulkan krisis lingkungan. Misalnya, beberapa waktu ini, di Inggris diciptakan desa-desa kecil yang terbebas dari teknologi industri dengan membuat pertanian alami, dan lain sebagainya. Selain itu, diperlukan sikap yang tidak memuja sains modern berlebihan, karena sikap tersebut akan menutup mata kita terhadap krisis yang ditimbulkan sains modern. 

Kilas balik pemikiran Nasr terkait dengan alam dapat merangsang kita untuk merefleksikan sejenak mengenai krisis lingkungan, serta dampak yang ditimbulkan oleh teknologi modern. Hemat saya, perlu semacam rekonstruksi sains itu sendiri, yang selama ini memisahkan diri dengan filsafat dan agama. Dalam artian, sains sebagai anak kandung filsafat seyogyanya kembali bergandengan tangan dengan filsafat dan agama [baca: reintegrasi], yang mana dimaksudkan untuk mengaktivasi kesadaran diri terhadap Tuhan demi terciptanya keseimbangan atau harmonisasi. 

Misalnya, terkait dengan pembuatan teknologi, sains perlu dihubungkan dengan etika. Hal itu karena faktanya penerapan dari suatu pengetahuan, seperti sains tidak bisa menghindari dari implikasi etis. Sehingga, jika dihubungkan, maka keduanya akan menghasilkan sains yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai etis. Lagi pula, menghubungkan sains, etika, dan ilmu-ilmu lainnya dapat menciptakan ilmu yang holistik dan integral. Jika bangunan ilmu pengetahuan menyatu dan utuh, maka potensi krisis yang ditimbulkannya semakin kecil, bahkan dapat dihindari. 

Manusia pun mesti mempunyai kesadaran tinggi terhadap lingkungan. Hal itu karena alam semesta dititipkan oleh Tuhan kepada manusia untuk dijaga dan dipelihara dengan penuh tanggung jawab. Dalam konteks ini, hal terpenting ialah mengembalikan fitrah manusia, sebagai makhluk yang dipilih Tuhan untuk memelihara alam semesta dengan sebaik mungkin. Namun, sayangnya, sebagian manusia modern menjadi ‘Tuhan’ bagi dirinya sendiri. Sehingga, acap kali merasa berhak berkuasa dan bebas melakukan apa saja semaunya. Termasuk eksploitasi terhadap alam untuk kepentingan dirinya, bukan untuk kemaslahatan umat manusia. Hal inilah yang berimplikasi pada krisis lingkungan.

Referensi

Nasr, Seyyed Hossein. Nestapa Manusia Modern. Bandung: Pustaka. 1983.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam, Sains, dan Muslim. Bantul: IRCISOD. 2022.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *