Penulis: Athoillah
Editor: Wa Ode Zainab ZT
Beberapa waktu terakhir, perhatian publik tertuju pada penolakan masif terhadap tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Berbagai foto dan video yang viral di media sosial secara gamblang menunjukkan kerusakan signifikan di beberapa area Raja Ampat yang telah beralih fungsi menjadi lokasi pertambangan.
Kampanye #SaveRajaAmpat menggema di berbagai platform media sosial Indonesia, mendapatkan momentum yang signifikan setelah aksi damai yang dilakukan oleh sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia di acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Hingga kini, penolakan terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat terus menjadi perhatian utama bagi para aktivis dari berbagai penjuru negeri. Mereka berpendapat bahwa kelanjutan operasi penambangan akan membawa dampak kerusakan lingkungan yang tidak terpulihkan.
Secara ekonomi, keuntungan yang dijanjikan oleh aktivitas pertambangan memang sangat besar. Namun, realitanya, manfaat tersebut tidak benar-benar dirasakan oleh masyarakat lokal. Justru, pihak yang paling diuntungkan adalah para pemilik modal dan korporasi besar yang mengoperasikan industri ini.
Oleh karena itu, melawan para kapitalis serakah yang terus menggerogoti hak atas ruang hidup adalah sebuah keharusan. Pertanyaan besarnya adalah mungkinkah sebuah revolusi melawan kapitalisme benar-benar terwujud di negeri yang sedang sakit ini? Sebuah negeri yang sarat ketimpangan, dikendalikan oleh kepentingan oligarki, dan perlahan kehilangan nuraninya, terlebih lagi ketika segalanya telah didominasi oleh uang, kekuasaan, dan kepentingan.
Lalu, jika itu terjadi, apakah masih ada harapan untuk menghancurkan para kapitalis?
Tentu saja jawabannya tidak bisa disampaikan hanya sepatah kata. Saat ini, para kapitalis sudah mencoba, bahkan berhasil, mengabstraksikan suatu produk atau komoditas ke dalam bibit angka yang nantinya disebut ‘indeks harga’. Indeks harga ini dipertukarkan sedemikian rupa dalam bursa saham. Akhirnya, bursa saham ini akan menjadi ujung tombak akumulasi kapital bagi perusahaan, pemegang saham, dan calon investor.
Sampai di sini, kita perlu menandaskan bahwa dominasi kapitalisme finansial pascaindustri sudah terjadi di sekitar kita, seperti contoh buruh lembur yang gajinya tidak seberapa.
Manusia-manusia di bawahnya akan menjadi budak kerja kapital. Ironis, bukan? Siapa yang memiliki uang, merekalah yang menang.
Peralihan sistem produksi di atas, sebagaimana ditunjukkan oleh filsuf Prancis Jean Baudrillard, adalah ‘simulasi tanda’. Dalam bukunya yang berjudul The Political Economy of Sign, simulasi tanda bukanlah produksi sesempit iklan, pramedia produksi, dan produk berbasis citra. Melainkan, suatu simbol produk yang tidak mempunyai acuan secara ekonomis. Hal ini akan menyebabkan ekstraktivisme industri yang dapat menimbulkan abstraksi permanen.
Jika ini terjadi, kerusakan alam, kesenjangan sosial, dan ketimpangan ekonomi tidak dapat kita hindari. Ia juga memprediksi bahwa dekade selanjutnya akan terjadi relasi dialektika antara kapitalisme finansial dan substansi dari tanda-tanda itu sendiri.
Memahami realitas secara Baudrillard, maka pertama-tama akan terjadilah penghalauan seluruh konsepsi orisinalitas, kenyataan, atau dengan kata lain, “membunuh” realitas itu sendiri, mengosongkannya dari esensinya. Sama halnya kita dalam berjuang melawan kapitalis, dominasi mereka sangat besar, negara, apalagi seluruh dunia, tunduk padanya.
Kemungkinan sulit mengalahkannya, bahkan tidak akan pernah berhasil, tentu itu pola berpikir yang salah. Jean Baudrillard menyampaikan bahwa setiap perlawanan ibarat ilusi suatu realitas yang mana mengangkat dan menampakkan dimensi suatu reversibilitas dari realitas tersebut, sehingga realitas tadi tampak tidak lebih sebagai ilusi.
Ilusi bukan dilihat sebagai titik akhir yang berhenti dalam angan-angan, melainkan sebagai titik awal di mana sesuatu itu dimulai, dari mana sejarah perlawanan mulai dicatat. Hal itu karena sejarah tidak akan berakhir. Jika perlawanan sekarang gagal, maka masih ada satu detik ke depan untuk melawan.
Jadi, dari fenomena yang terjadi di Raja Ampat, Papua, kita sebagai manusia yang adil sejak dalam kandungan sudah seharusnya terus melawan sampai kita menang.
Perlawanan terhadap pertambangan nikel di Raja Ampat, bahkan di daerah lainnya, bukan sekadar penolakan lokal, melainkan cerminan dari kritik lebih luas terhadap kapitalisme dan krisis lingkungan.
Dengan demikian, perjuangan di Raja Ampat menjadi simbol perlawanan terhadap ilusi realitas yang diciptakan oleh dominasi kapital, di mana nilai-nilai esensial, seperti keberlanjutan alam dan kesejahteraan sosial, dikosongkan maknanya demi kepentingan akumulasi modal.
Referensi:
Baudrillard, Jean. The Political Economy of Sign. St. Louis: Telos Press, 1981.
Baudrillard, Jean. Simulacra and simulation. University of Michigan Press, 1981.
https://www.tempo.co/ekonomi/ekowisata-tambang-nikel-di-raja-ampat-1674193