Secara etimologi, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, kata kerja dari hermeneuein yang bermakna pembacaan, penerjemahan, dan penafsiran. Dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan, hermeneutika merupakan ilmu yang mempelajari penafsiran, pemahaman, dan penerjemahan yang termaktub dalam suatu buku atau karya. Adapun secara historis, wacana hermeneutika dalam peradaban barat terbagi menjadi 3 fase
Hermeneutika Klasik
Pertama, fase klasik atau dikenal munculnya hermeneutika klasik, sekitar abad 13 Masehi yang ditandai dengan perkembangan gereja romawi di dunia barat, sehingga dibutuhkan kaidah atau metode penafsiran dan pemahaman terkait kitab-kitab suci untuk diajarkan kepada masyarakat awam. Demi menjawab berbagai kebutuhan tersebut, para pemikir menyusun kerangka metode penafsiran yang disebut hermeneutika. Akan tetapi, di masa pencerahan, hermeneutika mengalami pergeseran fungsi yang tidak sekadar digunakan untuk menjelaskan penafsiran kitab-kitab suci kepada masyarakat, namun digunakan sebagai pendekatan untuk memahami nilai-nilai pengetahuan dalam ruang penelitian.
Karakteristik hermeneutika klasik, meliputi:
- Mengikuti metode penafsiran gereja di abad 13.
- Hanya melingkupi masalah teoritis, sedangkan dampak terhadap makna hidup tidak aktual.
- Hermeneutika sebatas memahami kitab-kitab suci.
- Hermenutika klasik populer hingga abad 18 Masehi.
Hermeneutika Romantik
Kedua, hermeneutika romantik dipopulerkan oleh Friedrich Schleiermacher di abad 19 Masehi yang menempatkan wacana hermeneutika tidak sebatas pada penafsiran dan pemahaman teks-teks suci, melainkan hermeneutika harus diimplementasikan dalam teks-teks profan untuk memperoleh seni memahami yang hadir di setiap teks. Penawaran Friedrich Schleiermacher mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dengan memasukan hermeneutika sebagai salah satu cabang ilmu semantik untuk mengkaji dan menelaah ragam teori yang hadir di realitas. Lebih lanjut, Friedrich Schleiermacher dalam hermeneutika romantik menawarkan 3 pendekatan utama memahami teks, yaitu pemahaman mekanik dalam kehidupan sehari-hari, pengetahuan atas pengalaman, dan pemahaman artistik terhadap proposisi yang sulit dipahami.
Dalam pandangan Sayyed Abidin Bozorgi, ketiga pendekatan tersebut merupakan fase mempelajari hermeneutika romantik ala Friedrich Schleiermacher untuk menghindari berbagai kesalahpahaman pembaca terhadap diksi kata yang digunakan penulis.
Karakteristik hermeneutika romantik, antara lain:
- Mengutamakan makna teks untuk memperoleh ilmu pengetahuan daripada penulis.
- Pembaca tidak dapat menghadirkan kondisi mental yang dialami penulis buku.
- Penulis harus bersifat subjektif dalam merasakan dan objektif mengkaji suatu teks.
Dalam diskursus hermeneutika romantik, diketahui bahwa banyak para hermeneutikawan yang mengkaji dan meneruskan dasar pemikiran Friedrich Schleiermacher, salah satunya Wilhelm Dilthey yang menempatkan kajian hermeneutika melalui 3 pendekatan: erlebnis, ausdruck, dan verstehen. Erlebnis dalam pembacaan hermeneutika Wilhelm Dilthey bertujuan untuk proses menghayati teks yang berkaitan dengan pengalaman hidupnya.
Menurut Wilhelm Dilthey, manusia tidak dapat lepas dari pengalaman hidupnya, baik pengalaman lama maupun baru. Meski ragam pengalaman terus melekat dalam dirinya, manusia harus memberikan makna terhadap fenomena yang hadir dalam dirinya, seperti memaknai teks-teks. Artinya, hermeneutika Wilhelm Dilthey juga berusaha menawarkan cara untuk memaknai kehidupan manusia dari berbagai pengalaman yang melekat dalam dirinya. Ausdruck atau ekspresi hidup dalam pandangan Wilhelm Dilthey berusaha menjelaskan cara manusia memahami dan mengetahui hakikat diri di realitas. Verstehen dalam hermeneutika Wilhelm Dilthey adalah cara untuk mengetahui pengalaman dan perasaan yang dialami orang lain dengan meniru berbagai aktivitas yang dilakukan orang lain tersebut. Dengan demikian, individu dapat memahami berbagai kondisi dunia yang dirasakan oleh orang lain.
Hermeneutika Falsafi
Ketiga, hermeneutika falsafi yang diperkenalkan oleh Martin Heidegger, filsuf dunia Jerman abad ke-20. Ia memandang bahwa hermeneutika sebagai salah satu ilmu pengetahuan memiliki tujuan untuk memahami wujud atau eksistensi manusia. Pergeseran tujuan kajian hermeneutika dalam pandangan Martin Heidegger tidak sebatas memperbaharui perdebatan wacana ilmu semantik. Akan tetapi juga mengubah objek pembahasan filsafat yang sebatas mengkaji wujud-wujud partikular (being). Sedangkan dalam tradisi filsafat Yunani kuno pembahasan wujud dikaitkan dengan istilah (Being) atau wujud universal. Lebih lanjut, untuk memahami keberadaan manusia, hermeneutika falsafi ala Martin Heidegger menekankan pembahasan dasein untuk menjelaskan perbedaan manusia dengan benda mati yang dapat mengetahui arti dan hakikat eksistensinya.
Karakterisitik hermeneutika falsafi:
- Mengutamakan pengetahuan pembaca daripada teks, lawan dari hermeneutika romantik.
- Hermeneutika tidak sebatas metode mengetahui makna teks, akan tetapi juga menganalisis berbagai masalah teks dan relasinya dengan kehidupan manusia hari ini.
- Pembaca dapat menafsirkan ragam muatan teks untuk meningkatkan kesadaran terhadap adanya dia di realitas.
- Penulis sebatas menginformasikan berbagai fenomena untuk memantik kesadaran pembaca sebagai pelaku utama hermeneutika falsafi.
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa perkembangan diskursus hermeneutika di dunia barat mengalami perubahan. Di awal perkembangannya, hermeneutika diterapkan untuk memperoleh metode atau pendekatan penafsiran teks-teks suci, guna diajarkan kepada masyarakat awam. Adapun pada periode kedua, hermeneutika diimplementasikan untuk memahami ragam makna yang termaktub di berbagai teks-teks, baik profan maupun sakral. Sedangkan, hermeneutika dalam pembacaan modern, digunakan untuk memantik kesadaran manusia terhadap eksistensinya di realitas.
Editor: Ahmed Zaranggi
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.