Penulis: Murteza Asyathri
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah

Baik kata ‘filsafat’ dan merdeka’ mungkin tidak memiliki korelasi secara langsung. Namun, jika kita menelusuri sejarah panjang filsafat sejak Yunani, filsafat memiliki sumbangsih besar terhadap kebebasan atau pun kemerdekaan. Kebebasan dalam artian hubungannya dengan hak-hak individu yang alamiah, dan kemerdekaan sebagai perjuangan melawan supremasi kekuasaan yang otoriter, penjajah, atau ideologi tertentu yang membelenggu.

Bibit-bibit mengenai kebebasan di dalam filsafat sebenarnya sudah ada sejak masa pra-Sokratik di mana cara berpikir radikal atau filosofis hadir melawan asumsi-asumsi umum di tengah masyarakat. Contohnya adalah kritik antropomorfisme Tuhan dalam wujud dewa-dewi Yunani oleh Xenophanes. Xenophanes melihat gambaran dewa-dewi yang ‘menyerupai manusia’ itu dikarenakan imaji kita sebagai manusia. Begitu juga dengan intelektual-intelektual phusikoi seperti Thales, Anaximander, dll. yang berusaha mengungkapkan prinsip-prinsip dasar segala sesuatu melalui terang akal. Hal ini mengindikasikan upaya manusia untuk berani menjelaskan sesuatu tanpa mengandalkan narasi-narasi mitos, yang mana dianut masyarakat kuno masa itu.

Ide lainnya mengenai kebebasan dapat ditemukan, misalnya di dalam dialektika Sokratik (elenkhos), di mana Sokrates mengajak orang-orang di Agora berpikir secara radikal mengenai segala sesuatu yang kita sudah taken for granted. Misalnya, di dalam dialog Platon berjudul Euthyphrōn, Sokrates berdebat dengan Euthyphron mengenai kesalehan. Kesalehan bagi Euthyphron adalah segala sesuatu yang dicintai oleh semua dewa-dewi Yunani. Lalu, Sokrates menanyakan kepada Euthyphron: “Apakah menjadi saleh itu baik karena dicintai Dewa-Dewi atau karena dicintai dewa-dewi maka kesalehan itu baik?” Pertanyaan yang dikenal dengan “dilema Euthyphron” ini memang kedengarannya tidak nyambung dengan kemerdekaan, tetapi dari sini kita bisa melihat bahwa kita dipaksa untuk “merdeka” dari dogmatisme tentang kesalehan dalam perspektif Sokrates pada masa itu.

Melalui contoh tersebut, dapat dipahami alasan rasional mengapa sejarawan filsafat menjelaskan hadirnya filsafat sebagai permulaan dari logos atau akal budi dalam menjelaskan hakikat segala sesuatu, ketimbang memakai perspektif mitologis. Cara pandang khas dari filsafat sifatnya membebaskan, artinya berani untuk mempertanyakan segala nilai-nilai yang berlaku di masyarakat atau tatanan yang sudah stabil; kemudian, hal tersebut diangkat kembali sebagai bahan refleksi kita demi mewujudkan sebuah tatanan yang lebih baik lagi.

Di masa Pencerahan Eropa misalnya, ketika feodalisme masih mendominasi sendi-sendi kehidupan masa itu, filsafat hadir dengan memberikan pandangan yang baru mengenai hakikat individu serta hak-hak yang melekat secara lahiriah yang dianalisis secara mendalam oleh para intelektual pencerahan seperti, John Locke, John Stuart Mill, Bentham, dll. Pandangan ini memiliki implikasi besar, misalnya dengan lahirnya Deklarasi HAM pasca Revolusi Perancis, serta bagaimana supremasi kekuasaan berbasiskan pada keagamaan atau trah dinasti yang aristokratis mulai perlahan ditinggalkan karena dianggap tidak egaliter, bahkan membelenggu kebebasan individu. Dengan demikian, melalui kacamata filosofis, hakikat manusia dipandang setara dengan sesamanya dan tidak lagi dilihat dari status sosialnya.

Sama seperti halnya di bidang politik, di bidang ilmu pengetahuan alam, otoritas agama dalam menjelaskan asal mula alam semesta juga mulai berani diuji secara ilmiah oleh para filsuf-filsuf alam masa itu. Sebut saja pembuktian Galileo mengenai heliosentrisme, yang mematahkan pandangan kosmologis kuno, yang juga digunakan oleh gereja sejak awal Abad Pertengahan. Selain itu, misalnya, terobosan Darwin dalam menjelaskan evolusi spesies yang juga mesti berhadapan dengan narasi Kejadian (Genesis) yang dijelaskan dalam Kitab Suci. Semua itu adalah bukti bahwa filsafat, sebagai analisis kritis, memiliki semangat untuk menggapai kebenaran dengan sejujur-jujurnya sekaligus menjadikan manusia bebas dari halangan-halangan status quo agar menjadi semakin bijaksana.

Apakah semangat filsafat untuk memerdekakan manusia berhenti dengan kemajuan sains dan politik di Era Pencerahan? Sama sekali tidak. Filsafat justru adalah alat pertama yang digunakan oleh para filsuf kontemporer untuk menggugat klaim-klaim optimis di masa pencerahan ihwal manusia modern. Kini filsafat digunakan untuk melawan narasi-narasi besar supremasi peradaban Barat. Di balik modernitas dengan segala pernak-perniknya, filsafat menyadarkan kita tentang kolonialisme Barat terhadap non-Barat. Kesenjangan sosial yang semakin menganga antara kaum borjuis dan kaum buruh yang merupakan residu dari Revolusi Industri sejak abad ke-18/19, serta marginalisasi gender tertentu yang selama ini luput dalam pisau bedah filosofis.

Dalam momentum hari proklamasi, seyogyanya kita menghayati betapa besarnya peran filsafat terhadap kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, tokoh-tokoh kebangsaan dan Bapak Pendiri negeri ini terinspirasi dari filsafat dalam mewujudkan cita-cita sebagai bangsa yang independen atau bangsa yang tidak bisa didikte oleh bangsa lain. Dalam konteks kekinian, kita pun bisa berefleksi, dari mana ide tentang rakyat Indonesia yang pada hakikatnya setara dengan orang asing? Bagaimana manusia Indonesia punya hak dalam menentukan nasibnya sebagai bangsa yang mandiri? Hal yang juga tak kalah penting: Setelah kita merdeka, apakah semangat pembebasan yang inheren di dalam filsafat sudah tidak diperlukan lagi?

Referensi:

https://plato.stanford.edu/entries/liberation



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve − three =