Manusia mengalami stres dan depresi, karena kondisi jiwa yang tidak sehat. Pada hakikatnya, jiwa merupakan sosok yang mengetahui segala ilmu pengetahuan yang pikiran, perasaan, dan perilaku individu dalam jangka waktu tertentu.”- Ibn Miskawaih

Makna Penyakit Mental Ibn Miskawaih

Penyakit mental atau mental disorder dalam diskursus psikologi barat dipandang sebagai kondisi kesehatan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, dan suasana hati dalam jangka waktu yang cukup lama (kronis). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penyakit mental adalah gangguan kesehatan dan kebiasaan buruk yang dialami oleh manusia. Adapun dalam Lisān al-arab, penyakit mental dimaknai mara yang berarti penyakit yang menyerang rohani atau jiwa manusia.

Kata mara berbeda dengan kata marī yang berarti penyakit fisik. Al-Asfahānī dalam kitabnya Mufradāt fī Garīb al Qur’an menjelaskan kata mara ialah gangguan jiwa yang mempengaruhi tindakan dan kehendak manusia di eksternal. Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata mara disebutkan dalam Alquran sebanyak 13 kali untuk mendeskripsikan penyakit ruhani dalam diri manusia.

Ibn Miskawaih dalam dalam karyanya Tahdzīb al-Akhlāq juga menggunakan kata mara untuk mendeskripsikan jiwa yang sakit. Ibn Miskawaih menjelaskan mara atau penyakit jiwa didasari oleh tidak aktualnya daya berpikir yang menghadirkan sifat takut, mabuk, kecewa, pengecut, dan bodoh di setiap keputusan. Implikasinya, manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan yang mengindikasikan jiwa yang sakit. Jiwa yang sakit, ialah ketidakmampuan manusia untuk menata tujuan hidup di masa mendatang, sehingga individu cenderung merasa pesimis dan tidak memiliki makna hidup di realitas.

Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa penyakit mental berasal dari kondisi jiwa yang tidak stabil yang mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku, dan kesehatan tubuh manusia. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibn Miskawaih menjelaskan ketidakstabilan kondisi jiwa didasari oleh tidak aktualnya daya berpikir (al-quwwah an-natiqah), sehingga individu cenderung memainkan daya emosional (al-quwwah al-ghadābiyyah) yang menyebabkan penuh gairah (‘ishāq), marah (ghoḍāb), dan sedih (azān) dalam menghadapi suatu masalah di realitas.

Akibat Kecenderungan Daya Emosional

Ibn Miskawaih memandang kecenderungan al-quwwah al-ghadābiyyah dapat mempengaruhi kondisi tubuh manusia, seperti seseorang yang marah dapat mengubah wajahnya menjadi merah (yuḥmiru) atau individu yang merasakan sedih akan merasakan ketakutan (yarta’ad) dan hampa (yaṣfiru). Ada tiga pembahasan Ibn Miskawaih terkait hal ini, yaitu:

Pertama, sedih. Ibn Miskawaih memaknai sedih, ialah kegundahan hati manusia yang menyebabkan akal berpikir negatif dalam menghadapi setiap masalah. Akal yang berpikir negatif yang menyebabkan manusia mudah marah, sensitif, murung, dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupan.

Ibn Miskawaih mengutip pandangan Al-Kindi bahwa penyebab utama kesedihan ialah kepergian orang tercinta dan kekayaan duniawi yang menghadirkan rasa murung dan kecewa terhadap hilangnya suatu harapan individu. Contohnya, seseorang yang berharap mendapatkan keuntungan yang besar, namun faktanya dia tidak memperoleh keuntungan yang besar dalam usahanya. Akibatnya, manusia merasakan kegundahan atau ketidaknyamanan dalam hatinya.

Kedua, Marah. Ibn Miskawaih memaknai marah dengan kata ghaab yang mendeskripsikan suatu gangguan emosional didasari oleh perasaan sombong, pengecut, dan dengki yang dialami jiwa di realitas. Ragam perasaan yang dirasakan jiwa mempengaruhi percepatan daya pergerakan darah menuju jantung, sehingga menyebabkan tingginya intensitas darah individu atau darah tinggi. Pandangan Ibn Miskawaih selaras dengan Allamah Thabathabai dalam “Al-Islām Al-Muyassar” juga memaknai kata marah sama dengan ghaab yang berarti kondisi meluapnya emosi individu yang menyebabkan dirinya tidak dapat berpikir logis dan senantiasa memberontak di realitas.

Ketiga, Kecemasan. Ibn Miskawaih memaknai kecemasan dengan kata khauf yang bermakna takut dan gelisah terhadap masalah yang pasti dan yang belum pasti (mumkin). Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa manusia seharusnya cemas terhadap sesuatu yang pasti. Contohnya kematian, hal ini untuk mempersiapkan dirinya menjadi individu yang lebih baik. Sebaliknya, individu harus mengabaikan kecemasan yang belum pasti atau yang berasal dari imajinasi semata, karena membuat manusia cenderung berpikir negatif daripada positif (logis) dalam menghadapi kegelisahan dan ketakutannya di realitas.

Terapi Kecenderungan Daya Emosional Ala Ibn Miskawaih

1. Terapi Rasa Cemas/Takut

Ibn Miskawaih menawarkan dua pendekatan dalam mengurangi rasa cemas atau takut. Pertama, kemungkinan berpikir. Kemungkinan berpikir ialah meluruskan cara pandang individu untuk mengatasi suatu objek. Kemungkinan berarti ketidakpastian suatu perkara akan menimpa individu yang didasari oleh suatu sebab, seperti jika seseorang yang berdiri di atas ketinggian, maka dia berpikir akan terjatuh dan tewas. Menurut Ibn Miskawaih, kemungkinan berdiri di atas ketinggian dan terjatuh merupakan dua relasi yang berjauhan, sehingga tidak akan terjadi. Ketidakterjadian suatu kemungkinan dalam pikiran manusia menghindari individu dari rasa takut terhadap suatu masalah yang dihadapi.

Kedua, mengutamakan berpikir kritis daripada perasaan yang meledak-ledak. Penawaran kedua dalam pandangan Ibn Miskawaih berusaha mengarahkan manusia untuk berpikir positif daripada takut untuk mengambil suatu tindakan yang didasari oleh kekhawatiran terhadap suatu peristiwa di masa mendatang.

2. Terapi Rasa Sedih

Ibn Miskawaih menawarkan wacana filsafat jiwa untuk menjelaskan urgensi dan keberadaan jiwa sebagai esensi manusia mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan melalui pembahasan daya jiwa. Manusia harus memahami setiap daya jiwa untuk menghindari dan merehabilitasi ragam penyakit mental yang dialaminya dan orang lain. Semakin manusia memahami daya potensi jiwa, semakin manusia dapat mengendalikan dirinya untuk menata kehidupan yang baik di masa mendatang. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa wacana filsafat jiwa dalam psikologi Ibn Miskawaih memiliki urgensi untuk menyadarkan manusia terhadap keberadaan dirinya, demi mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan di realitas.

3. Terapi Rasa Marah

Marah merupakan salah satu penyakit mental yang sering ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Ibn Miskawaih memandang penyakit marah hadir dari berbagai faktor, seperti sombong, dikhianati, dan pengecut. Demi mengatasi ragam faktor penyakit marah, Ibn Miskawaih memulai dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji yang terbagi menjadi 2 pembagian, yaitu:

Pertama, mengosongkan sifat-sifat tercela seperti sombong, iri, dan putus asa dalam diri manusia. Pengosong sifat-sifat tercela dicapai melalui perenungan atas berbagai perilaku yang dilakukan. Artinya, manusia diarahkan untuk intropeksi diri atas perbuatannya, seperti marah, berdusta, dan melakukan kekerasan yang dilakukan seharian penuh. Sistematika pengosong sifat-sifat tercela akan mempengaruhi perilaku manusia untuk bersikap rendah hati, peduli, dan sabar secara berkelanjutan. Jika manusia mengaktualkan pengosongan diri dalam lingkup kehidupannya, maka ia dapat menciptakan kehidupan yang damai dan tentram tanpa keributan dan perdebatan.

Kedua, berpikir logis merupakan tahap selanjutnya dalam pandangan Ibn Miskawaih untuk merehabilitasi penyakit marah. Dalam Tahdzīb al-Akhlāq, Ibn Miskawaih menyebutkan pengosongan diri harus berlandaskan pada pola pikir logis. Sebab segala perilaku dan tindakan manusia berangkat dari mindset-nya. Artinya, ragam perbuatan tercela didasari oleh ketidakmampuan akal untuk menilai suatu perbuatan secara baik dan buruk yang menyebabkan perasaan emosional yang meluap-luap sebagai penyebab marah.

 

Editor: Saipul Haq

Referensi:

Ibn Miskawaih. Tahdzīb al-Akhlāq. Beirut: Dar al-Qutub al-Ilmiyah, 1985.

——————. Menuju Kesempurnaan Akhlak, diterjemahkan oleh Hilmi Hidayat. Bandung: Mizan 1999.

Luluq Ulul Ilmi, “Unsur-Unsur Tahdzīb al-Akhlāq Karya Ibn Miskawaih pada Bimbingan Konseling Permendiknas”.  Skripsi-UIN Walingsongo, 2018.

Muhammad Husain Thabathabai. Al-Islām Al-Muyassa. Qom: Muasssah Ummu Al-Qurra Lil tahqiq wa an-Nasr, 1419 H.

  1. M Syarif, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan, 1996.

Nizar dan Barsihannor, “Pemikiran Etika Ibn Miskawaih”, Jurnal KURIOSITAS, Vol. 11, No. 1 (2017).

Suhermanto Jafar. “Struktur Kepribadian Manusia Perspektif Psikologi dan Filsafat”. Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol. 2, No. 2 (2015).



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − seventeen =