TIGA GAGASAN POSTULAT: ANTARA BATAS DAN KEYAKINAN METAFISIK DALAM SISTEM FILSAFAT IMMANUEL KANT

Stats: 254 Views | Words: 3519

18 minutes Read




Penulis: Duncan Matthew Daunan, S. Fil.

Abstrak

Dalam konteks sejarah filsafat barat, warna-warni argumen yang dikemukakan dalam beberapa bidang diungkapkan dengan tegas namun dalam sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Persoalan upaya manusia dalam menjawab apa yang benar dan apa yang salah menjadi sangat beragam seiring dengan perkembangan zaman. Persoalan ini kemudian menjadi semakin meluas dan terus berkembang seiring dengan ketertarikan para intelektual yang terus menerus untuk mengkaji kebingungan filosofis, baik yang bersifat dugaan maupun yang bersifat mendasar. Hal ini mencakup pertanyaan-pertanyaan penting mengenai sifat dasar keberadaan manusia dan tidak segan-segan mendorong pengetahuan hingga ke batas-batasnya. Dalam konteks perdebatan dan kegelisahan yang sedang berlangsung seputar dasar-dasar pemahaman ilmiah, khususnya dalam domain filsafat, Immanuel Kant muncul sebagai tokoh penting, memelopori pendekatan baru terhadap penyelidikan filosofis dan memberikan pengaruh besar pada para pemikir berikutnya. Pemikiran Immanuel Kant sangat khas dan orisinal. Terlepas dari kenyataan bahwa Kant terkenal karena menghabiskan seluruh hidupnya di kota kelahirannya, Koningsberg, ide-idenya telah mendapatkan pengakuan yang cukup besar dalam skala global, dan dia secara luas dianggap sebagai salah satu filsuf paling penting di zaman modern. Kant menawarkan wawasan yang signifikan dalam bidang epistemologi, antropologi, etika, dan pendidikan. Namun demikian, mereka yang mendukung prinsip-prinsip filsafat Immanuel Kant tidak berada dalam ruang hampa, melainkan berdekatan dengan mereka yang menentang prinsip-prinsipnya. Mereka yang menentang Kant mengajukan argumen bahwa ketidakkonsistenan dalam filsafatnya pada akhirnya mengarah pada dukungannya terhadap dogmatisme, yang merupakan target awal dari kritiknya. Tujuan dari makalah ini adalah untuk melakukan pemeriksaan yang ketat terhadap isu-isu yang berpotensi memicu perdebatan panjang di antara para filsuf berikutnya. Penulis juga akan memberikan pendapat dan pandangan pribadi yang dijelaskan secara terpisah mengenai isu-isu yang diangkat dalam makalah ilmiah ini.

Keywords: Immanuel Kant, Metaphysics, Idealism, German Philosophy.

I. PENDAHULUAN

Immanuel Kant dianggap sebagai salah satu filsuf paling cemerlang dalam sejarah, dan sering diakui sebagai salah satu tokoh utama dalam pengembangan teori kritis. Namun, dalam perjalanan filsafat modern, ide-ide Kant menjadi sasaran kritik yang signifikan dari orang-orang sezamannya, terutama dalam tradisi filsafat Jerman. Gerakan Idealisme Jerman, yang muncul dari ajaran filosofis Immanuel Kant, berusaha meradikalisasi ide-idenya ke titik ekstrem logisnya, yaitu konsep kesatuan (monisme).
Hal ini agak berbeda dengan domain matematika dan fisika, yang dicirikan oleh elemen-elemen kategoris, terutama dalam kasus fisika. Akibatnya, kemungkinan fisika sebagai ilmu pengetahuan adalah proposisi yang layak. Disiplin fisika berkaitan dengan intelek, mengingat bahwa fisika mencakup elemen-elemen hubungan dan kausalitas.

Sementara itu, matematika yang juga mengandalkan negasi, limitasi, dan lain sebagainya juga terdapat pada kategori dalam intelek manusia, maka disebut sebagai mungkin. Namun, konsistensi Immanuel Kant dipertanyakan ketika dia hendak merubah pemahaman tentang metafisika sebagai salah satu dari ilmu pengetahuan. Padahal, seharusnya metafisika dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan karena terdapat ide akan substansi. Penentangan ini kemudian didalami dengan cara yang lebih radikal oleh para penerusnya, dan para penentang inilah yang membuka jalan baru bagi cara berpikir filosofis di era modern, yang memberikan peluang bagi aliran filsafat baru untuk berkembang dan melihat dari sisi yang menurut penulis, sedikit lebih humanistik.

Kant tampaknya banyak menyadari hal ini kemudian memberikan pondasi yang lebih kuat dalam segi pemikiran dan pandangan filosofisnya terhadap bidang etika. Namun, justru bidang tersebut secara kokoh berdiri dalam wilayah sendiri dan tidak menutup kekurangan serta menghentikan para filsuf idealisme Jerman lainnya (Fichte, Schelling, dan terutama Hegel) untuk menemukan celah serta mengambil bagian-bagian filsafat Kant untuk membuat bangunan sistem filsafat yang lebih megah namun juga lebih rapuh untuk dihancurkan.

Salah satu yang dirumuskan oleh Kant dalam sistem epistemologinya adalah adanya berbagai kategori (Imperalis Kategoris) yang berada dalam wilayah pikiran manusia. Menurut Kant, ada hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia karena hal tersebut berada di luar pengetahuan serta tidak ada bukti A posteriori yang dapat dipahami baik secara empiris maupun praktis. Maka untuk mengatasi hal tersebut Kant mengandaikan saja tentang bagaimana seluruh hal tersebut dipahami dan menggolongkannya sebagai tiga ide postulat, yakni Tuhan, Jiwa, dan Dunia.

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, persoalan yang kemudian muncul adalah bahwa hal ini kemudian membuat Kant jatuh ke dalam dogmatisme yang hendak dikritiknya sendiri. Artinya, Kant telah berada pada batas pengetahuan dimana hal tersebut diluar pemahaman manusia. Namun, apakah sungguh yang dimaksud dengan batas pengetahuan ini merupakan keyakinan metafisis belaka atau sesungguhnya ada penjelasan yang mengagumkan terkait tersebut?

II. BACKGROUND

Immanuel Kant tumbuh dalam suasana dimana kemiskinan saat itu sedang menerjang karena Prusia Timur (Ibukota dari Provinsi Jerman yang terpencil, sekarang adalah menjadi bagian dari Kaliningrad, Rusia). Ayahnya adalah seorang yang bagi Kant, cukup kikir hingga suatu waktu beliau mengungkapkan pada Immanuel secara bercanda bahwa tidak seluruh hal dasar yang ada pada kehidupan dapat mereka miliki.

Kendati ayahnya adalah seorang yang sangat pelit, akan tetapi peran terbesar yang mempengaruhi hidup Kant adalah ibunya (Strathern, 1997). Ibu Kant merupakan seorang yang tidak mengenyam pendidikan formal dan hanya mempelajari hal-hal yang diketahuinya melalui apa yang dialaminya, akan tetapi ibu Kant adalah sosok yang luar biasa. Beliau memberikan pengajaran yang sangat berpengaruh di awal kehidupan Kant dan mendidik Kant dengan keras serta kedisiplinan penuh.

Selain itu, disana juga terdapat pertumbuhan dari pemikiran Jerman yang kuat akan pengaruh dari pencerahan Perancis pada masa tersebut, seperti pemikiran Rousseau yang bergerak melalui romantisisme, menjadi latar belakang dari pertumbuhan pemikiran Kant dalam filsafatnya. Sisi samping atau dampak dari pengaruh yang kuat ini kemudian akhirnya mendorong para intelektual saat itu untuk dapat menemukan suatu sistem ilmu pengetahuan yang bersifat universalisme. Ambisi yang besar ini tentunya diikuti juga dengan keinginan untuk meruntuhkan bentuk pemikiran mistisisme dan doktrin tradisional peninggalan masa abad pertengahan yang dinilai oleh mereka sebagai doktrin yang licik dan abstrak.

Sebagai seorang pribadi, Kant menguasai hampir seluruh pelajaran yang dapat tersedia pada masa itu termasuk diantaranya adalah pelajaran mengenai logika, matematika, ilmu alam, pedagogi, dan lain sebagainya. Hal ini berkat dari seorang dosennya yang memberikan Kant akses khusus untuk meminjam dan membaca bukunya sehingga Kant pada saat itu dapat mempelajari hampir seluruh bidang ilmu yang ada. Kant kemudian menjadi seorang dosen tanpa gaji tetap (privatdozent) kurang lebih hingga 15 tahun lamanya. Pada masa inilah dikenal luas sebagai periode “pra-kritis” dalam kehidupannya, dimana Kant begitu terpengaruh oleh konsep rasionalisme dari Leibniz dan Wolff.

Di samping filsafatnya yang sangat ketat (rigorous) dan tentunya terstruktur dengan sangat baik, maka demikian juga caranya dalam menjalani kehidupan. Siklus kehidupannya sangat teratur, dengan jadwal yang sangat pasti dan kebiasaan yang tidak pernah berubah sama sekali. Sepeninggalan kedua orang tuanya, Kant serta para saudara perempuannya tinggal di Koningsberg selama masa hidupnya (Kant). Akan tetapi kendati demikian, Kant tidak pernah bertemu dengan para saudara perempuannya hingga lebih dari 20 tahun. Hal pertama yang dilakukan Kant ketika bertemu saudara perempuannya adalah meminta maaf pada hadirin yang ada dirumahnya karena Kant melupakan penampilan dan tampangnya.

Walau demikian, Kant tetap setia dengan minat dan ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan. Kant membaca salah satu karya terbesar Issac Newton mengenai ilmu matematika dan fisika, dan sungguh kagum terhadap sistem yang berjalan terhadap prinsip alam semesta dan cara kerjanya. Kant juga membaca mengenai rasionalisme Leibniz, yang baginya adalah salah satu gagasan intelektual jenius dan cara luar biasa dalam memandang alam sebagai bentuk kesatuan harmoni dan dibuktikkan dengan keadaan dalam realitas.

Dalam hal ini, Kant juga membaca karya dari filsuf empiris yang radikal, David Hume. Kant terpesona dan sepakat mengenai pandangan Hume bahwa segala hal yang terjadi dalam dunia dan kenyataan ini merupakan sebuah rangkaian persepsi yang menghasilkan bentuk pengalaman dan hal itu terjadi secara alamiah. Hume menolak dengan keras mengenai bentuk sebab akibat, keniscayaan, dan juga konsep tentang ketuhanan. Di sisi yang lain, Kant juga menolak untuk sepenuhnya sepakat pada argumentasi Hume. Kendati demikian, hal inilah yang membuat Kant kagum terhadap konsistensi dalam karya Hume.

Kant juga kagum terhadap karya Rousseau, yang nuansa pemikirannya begitu terasa aroma akan kebebasan dan semangat romantisismenya. Dia mengagumi sekaligus menentangnya, karena sistematika pemikiran Rousseau yang memang tidak nampak sedemikian akademis jika harus dibandingkan dengan para penulis filsafat yang lain pada masa tersebut.
Kant sempat terjebak dalam kebimbangan ketika dia membaca beberapa karya yang baginya, sungguh merubah dan berpengaruh terhadap cara berpikirnya (Strathern, 1997) dalam memandang filsafat.

Dia menganggap bahwa apa yang telah dituliskan dan dirangkai oleh para intelektualis sebelumnya merupakan suatu bangunan yang cukup matang dan dia pun tidak memungkiri mengenainya. Namun, Kant merasa tidak cukup dengan hal tersebut. Dia ingin sesuatu yang berada pada titik terjauh dari filsafat. Namun, dia tidak melihat hal itu. Titik ini menyebabkan Kant kehilangan semangat dalam memahami filsafat dan menganggap bahwa filsafat akan segera berakhir.

Namun, pada satu waktu dia membaca karya tulis David Hume yang berjudul “Treatise Inquiry Concerning of Human Understanding” dan Kant merasa bahwa dia pada akhirnya mulai menemukan kerangka pada bangunannya filsafatnya. Oleh karenanya, Kant selama beberapa tahun berikutnya tidak lagi menghasilkan tulisan akademis apapun kendati tetap setia pada filsafatnya. Pada saat inilah sebuah legenda bermula bahwa Kant melakukan kegiatannya secara terstruktur dan pada ritme yang hampir pasti.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Heine, “Kant bangun pagi, minum kopi, menulis, memberikan kuliah dan ceramah, istirahat sore, dan makan malam adalah kegiatan yang memiliki jadwal terstruktur. Penduduk di Koningsberg akan mengetahui bahwa waktu menunjukkan pukul setengah 4 ketika Kant nampak berjalan-jalan dengan jaket abu-abu seharga tidak lebih dari 1 Pfennig dan tongkat di tangannya, menuju jalan setapak yang dihiasi oleh pohon-pohon Linden, dan inilah yang dikenal luas sebagai the philosopher’s walk” (Strathern, 1997).

Kant sebenarnya bukanlah sosok dengan penampilan yang menarik, latar belakang keluarganya yang hidup dalam kemiskinan membuat sosoknya tidak dikenal sebagai pribadi yang menawan dan serapi kebiasaannya. Namun, Ketika para orang kaya tempatnya mengajar sebagai privatdozent mulai membenahi dan membantunya mengenai tata cara berpakaian secara elegan, dan ditambah dengan Kumpulan pengalamannya yang banyak menghabiskan waktu dengan para orang kaya, Kant dapat tampil menjadi sosok yang karismatik dan terpandang, membuat Namanya semakin termasyur kendati dia tidak pernah melangkah jauh dari kota kelahirannya itu.

Selama masa “hiatus” dalam memproduksi tulisan ini, Kant nampaknya berusaha mengembangkan system filsafatnya hingga lahirnya karyanya yang berjudul Critique of Pure Reason, dianggap sebagai salah satu karyanya yang sukses dan dikenal luas walaupun tulisannya sedikit sulit dimengerti secara umum. Karya berikutnya yang menyusul adalah Critique of Practical Reason dan juga Critique of Judgement. Diantara ketiga karya ini, karya pertama memuat ajaran dan pandangan sentral dari sistem filsafatnya yang cukup penting terkait epistemologi dan ilmu pengetahuan.

III. CONTENT

Dalam karya tulisnya yang berjudul Critique of Pure Reason, Kant membaginya dalam dua bagian. Pertama, bagian doktrin elemen transendental, yang memuat hampir sepanjang 400 halaman, dan yang kedua doktrin metodis transendental, yang dijabarkan hanya sepanjang 80 halaman. Pada karya ini, bagian penjelasan mengenai epistemologi tentang sumber pengetahuan manusia dalam segala situasi terdapat pada doktrin elemen transendental yang kemudian dipecah menjadi tiga bagian kecil yaitu: bagian pertama estetika transendental, bagian kedua analitika transendental, bagian ketiga dialektika transendental.

Secara umum, Kant berusaha memberikan kritiknya terhadap metafisika Leibniz yang mengatakan bahwa pikiran manusia dapat memahami dengan jelas dan secara alamiah mengerti tentang sesuatu diluar batas pengetahuan walau tanpa adanya pengalaman, seperti konsep tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian. Namun, Kant menentang hal ini karena hal tersebut tidaklah mungkin dapat diketahui.

Pada bagian ini Kant berusaha mengungkapkan suatu pertanyaan mendasar tentang bagaimana putusan sintesis a priori itu memungkinkan? Masalah ini terutama ada pada tiga bidang yang berbeda, yakni matematika, fisika, dan metafisika sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya.

Bagi Kant, ruang dan waktu merupakan sesuatu yang subjektif (Strathern, 1997) dan tanpa hal tersebut, maka tidak mungkin dapat memahami suatu pengalaman. Fleksibilitas yang dimiliki oleh ruang dan waktu sebagai pusat dari tetapan pemahaman inderawi, dibutuhkan agar seseorang dapat memahami pengalaman yang dijalaninya. Argumentasi yang disampaikan Kant mengungkapkan bahwa selain ruang dan waktu, terdapat “kategori” dalam pikiran manusia yang dapat membantu manusia memahami sesuatu tanpa perlu melalui pengalaman terlebih dahulu.

“Kategori” yang dimaksud oleh Kant disini seperti ruang-ruang dalam pikiran yang memuat berbagai hal seperti kualitas, relasi, modalitas, keniscayaan, dan lain sebagainya. Secara umum, kita tidak dapat memandang kenyataan jika tidak menggunakan kedua cara tersebut. Namun, menurut Kant hanya fenomena luar yang dapat disaksikan oleh seseorang menggunakan kedua cara itu, sebab kedua cara tersebut tidak dapat digunakan untuk menampilkan Noumena, atau sesuatu dalam dirinya sendiri yang sering dianggap Kant sebagai hal sebenarnya yang menciptakan fenomena.

Dalam pencerapan akan pengetahuan, terdapat dua bagian berbeda yang ada dalam pikiran seseorang. Disini Kant membedakan kedua hal tersebut sebagai intelek (Verstand) dan Rasio (Vernunft) sebagai bagian dari proses manusia dalam memperoleh pengetahuan (Hardiman, 2004).

Menurut Kant, kemampuan yang dimiliki oleh kedua bagian dari diri manusia juga tidak memiliki persamaan yang mendasar. Pada tahap intelek, data inderawi yang telah diterima melalui fenomena akan diolah dan menghasilkan sebuah putusan kognitif yang menjadi asas dari tindakan manusia dalam menyatakan keadaannya pada realitas. Putusan ini bagi Kant bagaikan sebuah tindakan etis yang memiliki maksud tersendiri, namun putusan tersebut tidak dapat bergerak secara independen dan menghasilkan bentuk tindakan sejati. Usai melalui tahap intelek, maka selanjutnya putusan tersebut akan diproses oleh tahap rasio, suatu tahap yang diungkapkan oleh Kant memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan intelek.

Kant menyatakan bahwa fungsi dari rasio adalah untuk melakukan pengaturan atas data a priori yang telah melalui tahap intelek, dimana data tersebut siap disintesakan agar menjadi satu keputusan kognitif. Putusan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi manusia untuk mengambil berbagai putusan tindakan dalam hidup. Dengan adanya keberadaan akan kategori ini dalam intelek manusia, maka Kant membuktikan bahwa fisika itu memungkinkan. Namun mengapakah demikian?

Fisika dinyatakan keberadaannya melalui keberadaan akan sebab akibat sebagai elemen dasar yang menjalankan sistem tersebut, dan manusia dapat memahami konsep kausalitas sebagaimana yang dinyatakan oleh Kant, karena fisika melalui proses kompleks yang kemudian oleh manusia diproyeksikan dalam pemahamannya akan fenomena. Hal ini juga berlaku bagi matematika, yang dianggap sahih dan valid sebagai ilmu pengetahuan. Namun, Kant masih menemukan kesulitan dalam memandang metafisika sebagai ilmu pengetahuan. Baginya, metafisika yang merupakan bentuk rasio murni itu tidak langsung berhubungan dengan objek empiris, karena tidak memiliki manifestasi khusus dalam realitas yang mampu menggambarkannya dan dapat diproyeksikan sebagai bentuk pengalaman.

Menurut Kant, fungsi dari tahap rasio pada pikiran manusia adalah sebagai pemberi putusan regulatif dan tidak memiliki kemampuan untuk memperluas pengetahuan secara mandiri. Walau demikian Kant berpendapat bahwa metafisika masih memungkinkan untuk menjadi suatu disposisi ilmiah, karena rasio memiliki kecenderungan untuk membenarkan kealamiahannya. Walau demikian, Kant berpendapat bahwa hal ini telah menerjang batas dari pengetahuan manusia. Bagi Kant, Tuhan dan Jiwa tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena telah melampaui batas pengetahuan (Hardiman, 2004).
Sekilas, nampak bahwa bangunan filsafat yang telah dikukuhkan oleh Kant seperti suatu sistem raksasa dan sangat kuat sehingga dapat diterima secara seluruhnya. Namun. Hal itu tidak seindah kelihatannya ketika para filsuf idealisme pasca Kant menemukan fakta bahwa filsafat Kant yang tidak konsisten dan mengkritiknya hingga hancur berkeping-keping, kemudian para filsuf tersebut berusaha membangun kembali apa yang telah dimulai oleh Kant, akan tetapi kali ini dengan cara yang lebih radikal.

III. THREE POSTULATE IDEAS

Kant menyatakan ujung pemikiran epistemologisnya pada konsep 3 ide postulat yang sangat berkaitan dengan rasio praktisnya. Menurut Kant, imperatif kategoris seperti yang telah dibahas sebelumnya telah mengungkapkan bahwa itu bukanlah putusan analitis belaka melainkan bersifat sintesis a prori. Predikat dalam premis (isi perintah) tidak dilandaskan kepada analisa atas subjek itu, melainkan harus dikaitkan dengan subjek itu sendiri (Hardiman, 2004). Akan tetapi masalahnya adalah bagaiana putusan yang memiliki sifat a priori dan praktis itu memungkinkan?

Kant memberikan solusi bahwa haruslah ada sesuatu seperti penghubung atau term menengah yang berad pada subjek dan predikat untuk menghubungkan kedua hal tersebut. Persoalannya, term atau penghubung seperti ini tidak dapat diperoleh dari kenyataan, atau dunia fenomena karena itu merupakan sesuatu yang tidak ada disini. Dunia fenomena hanya diisi dengan kausalitas dan keniscayaan atau kalaupun ada, determinisme. Sebagaimana contoh: ide tentang kebebasan atau keadilan tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, namun pemaksaan akan kehidupan moral menekan manusia untuk memungkinkan bahwa kebebasan itu mungkin, sebab jika kebebasan itu tidak ada maka tindakan yang sifatnya moral juga tidak akan ada. Keduanya saling berpengaruh antar satu dengan yang lain, sebagai hubungan timbal balik.

Keabadian jiwa juga harus diandaikan, sebagaimana mengandaikan realitas, bahwa rasio manusia bagi Kant cenderung menemukan suatu totalitas absolut dalam bidang yang sifatnya praktis. Disebut sebagai bentuk kebaikan yang tertinggi sebab mencakup baik kebahagiaan maupun nilai keutamaan. Akan tetapi sifatnya tidak logis dan analitis, karena terkadang melakukan keutamaan atau mematuhi hukum moral tidak sama dengan mencari kebahagiaan. Lantas bagaimana hal ini dapat terjadi?

Kant memaklumatkan bahwa dalam pelaksaan pencarian kebahagiaan tidak hanya ada pada pelaksanaan mematuhi hukum moral, namun dia berpendapat bahwa manusia dapat berbuat baik tanpa mematuhi hukum moral dan pada realitas hal ini dapat ditemukan. Pendapat ini cukup unik untuk dilontarkan oleh Kant mengingat filsafatnya yang ketat dan cukup konsisten di satu titik, walau pada akhirnya hal itu tidak pernah terjadi hingga keseluruhan utuh pada perjalanannya berfilsafat.
Secara nyata, suatu tindakan yang melanggar moral universal tidak dapat dibenarkan secara deontologis. Namun, kebahagiaan yang didapatkan dari menyelamatkan nyawa seseorang itu di satu sisi tidak dapat dibenarkan secara moral ketika moral lain tidak dipatuhi, dan cukup aneh jika hal itu dikatakan sebagai kejahatan. Maka, tidak berkaitannya satu sama lain terlihat sekali dalam hubungan antara kedua paham ini.

Selain itu, keberadaan Allah juga bagi Kant harus diandaikan. Bagi Kant, kebahagiaan itu diandaikan bahwa subjek rasional dapat menciptakan apapun yang mereka harapkan. Namun dalam realitas, implementasinya tidaklah sederhana dan mudah. Kant mengandaikan adanya harmoni antara alam inderawi dan kehendak kita. Kita pun tidak dapat menciptakan apa yang kita harapkan. Dalam hal ini, subjek dituntut untuk percaya bahwa ada hal yang melebihi segala sesuatu itu, dan hal tersebut adalah Allah. Keberadaan Allah menjamin harapan moral manusia untuk mencapai suatu kebaikan yang tertinggi.

III. CRITIQUE

Kant memberikan garis haluan yang begitu keras dan dalam pemikirannya, jelas Kant adalah seorang yang cerdas dan secara kuat membangun sistem filsafatnya secara mewah. Dia membangun pemahaman yang tegas tentang epistemologi dan dalam kerangka itu dia membalikkan pemahaman sebelumnya yang dimulai sejak Aristoteles dan kemudian usai era Kant, hal tersebut berybah dan menjadi pijakan baru bagi para pemikir di masa mendatang dan sangat kentara nampak pada semangat para idealis Jerman. Walau demikian, tentunya sistem filsafat Kant memiliki kelemahan yang tidak konsisten dan tampak jelas.

Terkait etika deontologisnya Kant mengungkapkan bahwa keberadaan imperatif kategoris itu tidak didasarkan pada kebaikan menurut tujuan tersebut melainkan pada fakta bahwa perintah itu memiliki kebaikan dalam dirinya. Titik lemah Kant disini adalah bahwa ketika hal itu dianggap sebagai baik pada dirinya, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana cara kita mengetahui perintah itu baik “melalui” esensinya? Hal ini tentunya berbeda dengan pendapat Kant bahwa fenomena itu tidak dapat diketahui sejatinya (Noumena). Namun, apakah kebaikan merupakan fenomena realitas? Maka, bagaimanakah mengetahui esensi dari suatu nilai universal?

Jika dikatakan sebagai hal yang baik karena putusan universal, maka itu tidak berlaku karena hal itu tidak dapat diketahui karena pandangan seseorang tersebut bersifat subjektif. Dengan kata lain, pemahaman ini tidak lagi ada di bidang metafisika, melainkan seolah berusaha menerjang batas pengetahuan. Namun, hal yang ditujukan oleh Kant adalah bahwa dia berusaha untuk memulihkan metafisika dengan cara yang baru. Perintah ini tidak dapat didasarkan pada baik akan dirinya, karena tidak secara pasti hal itu memiliki sifat universal. Ketika itu universal, maka kita tidak dapat mengetahui bahwa hal itu ada pada tindakan yang a priori, dan putusannya menjadi diragukan.

Di sisi lain, Kant mengungkapkan dalam konsep 3 ide postulatnya, pengandaian mengenai dunia, jiwa, dan Tuhan merupakan suatu keharusan. Dia berargumen bahwa tidak ada keilmiahan yang empiris dapat membuktikannya. Akan tetapi, Kant berada dalam bahaya dogmatisme yang sedang dikritiknya. Hal ini tidak terkait bahwa sesungguhnya bentuk penggunaan rasio secara melulu akan meluluhlantahkan diri itu sendiri bahwa keterkaitan eksistensial sebagai suatu tindakan yang niscaya sebagai kausalitas pun sesungguhnya ada pada realitas. Gaya yang ketat dan kaku ini tentunya akan mengantarkan Kant kembali bentuk dogmatisme yang sebelumnya dialami olehnya, sebagaimana sebelum Hume melalui karyanya membangunkan Kant dari jerat belenggu rasionalisme Leibniz dan Wolffian.

IV. CONCLUSION

Kerangka filsafat epistemologis Kant menyatakan bahwa manusia menerima pengetahuan karena dirinya aktif bekerja mengenali benda yang ada diluar dirinya dan juga berbagai macam rangka proses dalam alam pikir manusia menuntun kita bahwa sesungguhnya Kant memiliki cara berpikir yang sangat orisinil dan khas sehingga bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dalam memahami filsafat Immanuel Kant. Salah seorang filsuf yang beraliran Kantian, Wildeband (1848-1915) menyatakan bahwa:
“Memahami Immanuel kant berarti melampaui dia”
Pengaruh Kant juga tidak hanya memberikan dampak besat terhadap pemikiran filsafat modern, namun juga pada filsafat kontemporer (Pasca Nietzsche). Salah seorang filsuf eksistensialis Karl Jaspers mengungkapkan:
“Memahami sejarah filsafat barat akan lebih mudah ketika kita memahami filsafat Kant”.
Dengan ini, tentunya sangat jelas bahwa pengaruh Kant begitu luar biasa tidak hanya berada pada zamannya saja namun nyaris melingkupi perjalanan zaman secara seluruhnya dan itu bertahan serta dapat dirasakan pengaruh yang timbul hingga saat ini. 

V. REFERENCES

[1] Kant, Immanuel. Critique of Pure Reason (Translate by: Jonathan Bennett) January, 2007.
[2] F. Budi, Hardiman. Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 1941.
[3] Petrus L Tjahjadi, Simon. Petualangan Intelektual. Kanisius Publishers: Jogjakarta, 2004.
[4] Acton, H.B. The Basic of Moral Philosophy: Immanuel Kant’s ethical thought Ellaboration. Eureka Publishers: Surabaya, 2003.
[5] Bowie, Andrews. Aesthetics and Subjectivity: From Kant to Nietzsche. Manchester University Press: Manchester, 2004.
[6] Kemp Smith, Norman. A Commentary to Kant’s “Critique of Pure Reason”. Macmillan & Co Limited: London, 1918.
[7] Ewald, William Bragg. From Kant to Hilbert. Oxford University Press: USA, 2004.
[8] Kitcher, Patricia. Kant’s Critique of Pure reason: Critical Essays. Rowman & Littlefield: USA, 1998.
[9] Falkenstein, Lorne. Kant’s Intuitionism: A Commentary on Trancendental Aesthetics. University of Toronto Press: Canada, 1998.
[10] Seth, Andrew. The Development from Kant to Hegel. Cambridge Scholars Publishing: United Kingdom, 2002.
[11] Hughes, Fiona. Kant’s Aesthetics Epistemologi: Form and World. Edinburgh University Press: United Kingdom, 2007.





Citation format :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *