Penulis: Siti Nuraini
Editor: Wa Ode Zainab Zilullah
Gerakan rakyat hari ini masih jauh dari kata menang. Hal ini tecermin dari pernyataan Presiden Prabowo ketika masyarakat menyampaikan kritik, ia masih percaya diri mengatakan bahwa suara rakyat tak lebih dari “anjing menggonggong”. Hal ini seharusnya semakin membakar api perlawanan, serta menjadi refleksi tersendiri bagi organisasi pergerakan. Namun, ini bukan berarti perjuangan yang telah dilakukan kawan-kawan sia-sia. Sungguh tidak ada kata ‘kalah’ dalam sebuah keberanian menegakkan keadilan!
Sepanjang sejarah gerakan rakyat Indonesia, dinamika perlawanan lebih banyak didorong oleh gerakan moral yang menekankan keberpihakan pada nilai-nilai keadilan, kebebasan, dan kemanusiaan, ketimbang berorientasi pada upaya transformasi materiil terhadap struktur ekonomi dan sistem produksi yang menjadi akar ketimpangan. Reformasi 1998 tak dapat dipungkiri berhasil menjatuhkan Soeharto. Kendati demikian, kondisi negeri ini nyatanya tidak sejalan dengan ekspektasi besar rakyat Indonesia. Apa perubahan signifikan pasca runtuhnya Orde Baru?
Barangkali kita juga masih teriang dengan berita mengenai gerakan yang mengkritisi legitimasi dan efektivitas peradilan formal dengan membentuk Mahkamah Rakyat. Namun, seberapa berhasil kekuatan Mahkamah Rakyat itu dalam mencapai “keadilan”? Belum lagi, setiap kali turun ke jalan untuk demonstrasi, kita sering mendengar ocehan dari kaum proletar dan borjuis, yakni, orang miskin yang tidak sadar kelas dan orang kaya yang serakah] yang mengeluh bahwa demo membuat macet. Parahnya, rakyat yang berdemo sering kali dilabeli sebagai “massa bayaran”. Kalau sudah begini, sebenarnya apa yang harus kita lakukan? Mari kita refleksi bersama!
Pertama, perlu dipahami bahwa gerakan moral sebenarnya baik. Sebab perjuangan rakyat selalu berangkat dari moralitas yang berkembang dalam masyarakat, berkaitan dengan isu penindasan, ketidakadilan, dan semacamnya. Namun, fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan moral tidak berhasil mencapai kemenangan besar. Penguasa lama digantikan oleh penguasa baru yang juga menindas. Kebijakan yang menindas mungkin bisa digagalkan, tapi kemudian akan lahir lagi kebijakan baru yang menindas. Karena itulah, gerakan moral hampir tidak pernah benar-benar mengubah sistem secara mendasar.
Perkembangan sejarah seperti ini telah dibahas oleh Karl Marx dan Engels dalam The German Ideology serta Das Kapital. Mereka menyatakan bahwa aktivitas produksi ekonomi akan membentuk struktur sosial masyarakat, seperti ideologi, agama, kebijakan, hukum, dan sebagainya. Ekonomi akan memengaruhi politik, dan struktur ekonomi ini dikuasai oleh para pemilik modal, pemilik alat produksi, atau para penguasa. Sistem ekonomi seperti ini yang sering kita dengar sebagai kapitalisme. Maka, seruan-seruan moral yang muncul sering kali tidak diiringi dengan transformasi ekonomi dan politik yang mengakar.
Hal itu karena seruan moral itu bersifat abstrak. Moral adalah ide yang berkembang di tengah masyarakat, namun kebanyakan ide abstrak tersebut adalah hasil produksi dari kelas-kelas yang berkuasa. Nilai-nilai moral yang dominan juga kerap diproduksi oleh mereka. Akibatnya, seruan moral jarang disertai dengan perubahan yang benar-benar mengakar dan berpihak pada kelompok yang terpinggirkan. Di sinilah pentingnya pemantik gerakan yang lebih dari sekadar seruan moral, yakni kesadaran kelas, yaitu kesadaran bahwa masyarakat pada kenyataannya terbagi menjadi dua kelas besar: kelas penindas dan yang ditindas.
Oleh sebab itu, kesadaran kelas harus menjadi pemantik kuat bagi gerakan sosial-masyarakat: pengelompokan masyarakat hanya terdiri atas dua kelas besar, yaitu borjuis (yang mencakup penguasa, elit politik, pemilik modal, militer, serta intelektual arus utama) dan proletar (pekerja industri, buruh tani, nelayan, asisten rumah tangga, serta kaum marjinal lainnya). Sehingga, hanya dengan kesadaran ini, rakyat bisa terhindar dari jebakan kaum menengah yang rentan berubah menjadi pemimpin baru yang menindas.
Akhirnya, untuk meraih kemenangan besar, langkah strategis yang diperlukan meliputi pembentukan hegemoni kultural dan aksi politik terstruktur, di mana intelektual organik menjadi rujukan, sebagaimana dirumuskan Antonio Gramsci dalam Prison Notebooks. Selain itu, gagasan tentang “semua roda berhenti kalau tangan kuatmu menghendakinya” yang dikutip Franz Magnis Suseno dalam Dari Mao ke Marcuse menjadi pijakan perjuangan. Adapun langkah yang bisa dilakukan dengan menyebarkan nilai-nilai pembebasan, serta membangun kesadaran kolektif melalui komunitas. Rapatkan barisan dan tetapkan tujuan: Lawan Penindasan!
Referensi
Engels, F. (2007). Tentang Das Kapital Marx. Retrieved April 16, 2025, from
https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1868/On-DKapital.pdf
Gramsci, A. (2013). Prison Notebook: Catatan-Catatan dari Penjara. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Magnis, F. (2013). Dari Mao ke Marcuse. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sultan, A. (2024). Tak Berkekuatan Hukum, Begini Efek Mahkamah Rakyat Menurut
Mereka yang Terlibat | tempo.co. Retrieved April 16, 2025, from
https://www.tempo.co/politik/tak-berkekuatan-hukum-begini-efek-mahkamah-rakyat-
menurut-mereka-yang-terlibat-45572