Genre buku filsafat memang belum menjadi jenis literasi populer di Indonesia. Namun terdapat beberapa buku filsafat yang mendapat perhatian khusus di hati para akademik dan sebagian masyarakat perkotaan Indonesia. Salah satunya, ialah buku “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring di tahun 2018 yang berhasil menyabet penghargaan book of the year dari Indonesia International Book Fair setahun setelah diterbitkan.
Mengapa buku “Filosofi Teras” menjadi anomali, khususnya di lingkungan akademik dan urban? Jawabannya, karena buku tersebut reliabel dengan persoalan yang dihadapi masyarakat modern.Buku “Filosofi Teras” menawarkan perspektif baru dalam memaknai realitas hidup yang penuh dengan kekacauan yang dinamai Stoisisme.
Stoisisme atau Stoa adalah salah satu mazhab Filsafat Barat yang didirikan pada abad 3 SM di Yunani oleh seorang filsuf bernama Zeno. Ajaran Stoa sangat beragam, meliputi perkembangan logika (retorika dan dialektika), fisika, dan etika. Namun ajaran yang menonjol terdapat di dalam bidang etika.
Etika Stoa menekankan pentingnya apatheia, yaitu sikap hidup yang menerima atau tawakal terhadap keadaan di realitas. Penerimaan kita terhadap realitas didasarkan pada nalar untuk menuju kesempurnaan moral dan intelektual, demi menghindari segala emosi negatif dalam diri manusia modern. Bagi seorang stoik berupa; emosi negatif, seperti marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, senang berlebihan, dan euforia dapat merusak kehidupan.
Seorang stoik meyakini bahwa realitas dunia itu tunggal. Terdapat suatu tatanan atau kosmos di alam semesta yang terlihat kacau, seperti kemacetan di jalan, keriuhan pasar, dan orang-orang asing yang saling tidak mengenal dengan kehendak masing-masing berada dalam tatanan yang satu. Menurut Stoa, hal itu adalah logos universal yang mengatur setiap manusia.
Manusia tidak perlu takut pada kesedihan apapun. Ia tidak sendiri dalam tatanan maha agung ini, semua individu memberikan sumbangsih terhadap tatanan semesta atau kosmos. Kesedihannya, digariskan dalam keluasan, demikian juga kebahagiaannya digariskan dalam keluasan.
Memandang Realitas dari Perspektif
Bayangkan jiwa anda terlepas dari raga! Lalu, anda dapat terbang, seperti burung elang. Anda terbang ke atas, meninggalkan diri anda sendiri, dari atas anda melihat kota, kemacetan jalan, keramaian, semakin jauh ke atas anda melihat keseluruhan realitas terus jauh dan jauh hingga diri anda terlihat kecil, seperti debu di antara debu-debu lain. Inilah analogi latihan dasar Stoa untuk melihat realitas sebagai logos universal / tatanan.
Kemudian yang paling terpenting dari latihan ini adalah melihat diri anda sendiri sebagai objek, anda memberi jarak dengan diri anda sendiri. Anda memberi jarak dengan masalah-masalah anda, seolah-olah masalah tersebut bukan bagian dari diri anda. Segala macam kerumitan hidup nampak begitu sementara di tengah tatanan semesta yang selalu berubah-ubah. Masalah-masalah yang mengikat anda secara pribadi nampak sederhana di hadapan keluasan tatanan alam semesta.
Ada kisah yang menarik. Pada satu waktu dalam perang Waterloo, sekitar tahun 1800-an, Jendral Wellington yang memimpin pasukan sekutu Inggris, Belanda, dan Prusia mendapat kabar datangnya serangan dari Napoleon yang memiliki pasukan jauh lebih banyak. Namun, Wellington tidak goyah sama sekali, tidak ada kepanikan apapun terpancar dari dirinya. Dia bersikap dingin atas kabar buruk itu, dan ironisnya, Napoleon justru kalah. Sementara Wellington tidak mengalami kekalahan sama sekali.
Zoners perlu tahu bahwa Wellington dan banyak lagi figur ternama dunia memberikan respon “Stiff upper lip” terhadap masalah yang mereka hadapi. “Stiff upper lip” atau bibir datar adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ekspresi kaum aristokrat yang tidak tersenyum namun juga tidak murung, datar-datar saja. Sikap aristokrasi ini identik dengan tuntunan hidup Stoa yang menahan kesenangan berlebihan juga sedih yang berlebihan di hadapan realitas.
Seperti telah disinggung sebelumnya, bahwa Stoisisme adalah sikap hidup yang bercorak aristokrasi, maka banyak figur-figur penting yang menjalankan tuntunan hidup Stoa juga. Salah satu di antaranya adalah Marcus Aurelius kaisar Romawi yang berkuasa pada tahun 161 hingga 180-an. Catatan pribadinya yang akhirnya dibukukan berjudul meditation berisi pemikiran Aurelius mengenai stoisisme.
Aurelius menulis dalam meditation bahwa setiap pagi, ia bangun dalam kondisi meditatif yang mengkondisikan pandangannya bahwa semua orang adalah sama dan memiliki ikatan batin di dalam tatanan semesta yang rasional ini. Maka semua hal yang terjadi terhadap kita tidaklah mengejutkan. Kita tidak perlu memberikan respon berlebihan dan perlu mereorientasi hal-hal yang menjadi tugas kita sebagai bagian dari kosmos dan hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan dalam kosmos.
Berbeda dengan Aurelius, Epictetus bukanlah seorang aristokrat melainkan seorang budak. Ia hidup sekitar tahun 60-130-an CE (Common/Tahun Umum) sebagai budak dari Epaphroditus, dan atas bantuan dari tuannya, Epictetus bisa belajar kepada filsuf stoik terbesar kala itu, Musonius Rufus.Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Stoisisme bercorak aristokrasi lantas kenapa seorang budak perlu menjalani hidup yang stoik?
Tidak ada pengkategorian “budak” di dalam Stoa. Karena bagi seorang Stoa semua orang adalah budak di dalam kosmos, Seperti halnya para ahli stoik yang lain, Epictetus meyakini bahwa keseluruhan manusia adalah satu organon tunggal. Setiap dari individu memiliki tugasnya masing-masing dalam tatanan semesta.
Epictetus memberikan panduan etis untuk sumbangsih yang baik bagi kosmos. Pertama manusia perlu mengkaji etika yang baik dan buruk, kemudian mengukur tindakan tersebut dalam relasi keluarga dan sosial, lalu menguji konsistensi keyakinan tersebut dengan kenyataan.Dengan mengeksaminasi sumbangsihnya di dalam kosmos satu individu menjadi tahu apa yang ada dalam kendalinya dan tidak, salah satu hal yang bisa kita kendalikan adalah persepsi kita terhadap realitas.
“It is not things in themselves that trouble us, but our opinions of things.” (Epictetus)
Artinya: “Bukanlah hal-hal pada dirinya sendiri yang mengganggu kita, namun opini kita atas hal-hal tersebut.”
“Whenever you want to talk about people, it’s best to take a bird’s-eye view and see everything all at once—of gatherings, armies, farms, weddings and divorces, births and deaths, noisy courtrooms or silent places, every foreign people, holidays, memorials, markets—all blended together and arranged in a pairing of opposites.” (Marcus Aurelius)
Artinya; Kapanpun anda ingin bicara mengenai orang-orang/masalah-masalah, jalan terbaik adalah melihat semuanya sekaligus dari horizon mata seekor burung di langit bahwa perjumpaan manusia, sesawahan, perpisahan, lahir, wafat, dan ruang-ruang yang ramai atau ruang-ruang sepi, semuanya tercampur secara bersamaan dan terkumpul dalam perpasangan yang saling berlawanan.
Referensi:
-https://id.wikipedia.org/wiki/Stoikisme diunduh 28 Oktober
-https://en.wikipedia.org/wiki/Stoic_physics diunduh 28 Oktober
-Suryajaya, Martin (2020). Etika Stoa untuk hidup ambyar. Jakarta: Kanal YouTube Martin Suryajaya
https://youtu.be/tgq_O8B-NhY diunduh 28 Oktober
Editor: Nurul Khair
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.