“Manusia tidak akan pernah mati, karena jiwanya akan terus menyempurna bersama dengan pemikirannya.” Ibn Sina-“Risalah al-Aqsām Nufūs”
Pagi itu, langit Hamedan terlihat cerah yang didukung dengan hawa dingin di akhir musim dingin. Salah seorang sopir taksi menawarkan jasa travel kepada kami; para pelajar Indonesia yang kebetulan ingin menghabiskan akhir libur panjang di kota yang berusia 3000 tahun ini. Amu Amir, begitulah sapaan akrab sopir yang mengantarkan kami ke peristirahatan terakhir Ibn Sina tampak penasaran dengan perawakan wajah kami. “Ahl-e kujoyi? (Anda berasal dari mana?”, tanya pria paruh baya ini, sembari mengemudi kereta bajanya. “Kami orang Indonesia”, jawab salah seorang teman dengan nada rendah. Amu Amir tampak kaget hari ini, karena membawa dua orang turis yang begitu jauh dari negaranya.
Seperti biasa, warga sipil atau masyarakat Iran begitu menghormati para turis yang datang ke negara mereka dengan menceritakan secara singkat keistimewaan kota kelahirannya, Hamedan. Amu Amir menuturkan bahwa Hamedan merupakan kota sejarah yang harus dikunjungi oleh para pelancong untuk mempelajari peninggalan kekaisaran Dinasti Achaemenid, Persia kuno. Muhammad Ibrahim Zarei dalam penelitiannya berjudul “Tārikh-e Syahr-e Hamedān” menjelaskan bahwa Hamedan merupakan jalur perdangan antara Babilonia dan Persia kuno, sehingga tidak heran bahwa kota ini telah menjadi tempat subur pertumbuhan nilai-nilai sejarah.
Bertolak Menuju Kota Hamedan
Sekitar 14 menit perjalanan yang kami tempuh dari stasiun kereta api Hamedan ke Pusara Ibn Sina. Saya sempat bertanya kepada Amu Amir, mengapa Ibn Sina memutuskan bermukim di Hamedan, setelah melalui berbagai perjalanan intelektual di Rey, Gorgan, dan Kharezmia. Amu Amir tidak langsung menjawab, pertanyaan yang kami lontarkan, akan tetapi bertanya kepada kami terlebih dahulu bahwa “Apakah kalian tidak merasakan kedingingan?”. “Iya, di sini terasa dingin, meskipun kita berada di akhir musim semi.”, sahut kami.
Ada beberapa alasan Bu Ali Sina, atau Ibn Sina, memutuskan menetap di kota yang berjuluk Hegmataneh, akan tetapi hanya ada dua alasan yang hadir di ingatan penulis: Pertama, suhu udara Hamedan sangat bagus untuk menyimpan bersediaan obat-obatan medis yang dikelilingi kaki gunung Zagros. Di satu sisi, Hamedan juga dikenal sebagai salah satu pusat pertanian saffron, tumbuhan herbal. Kedua, Bu Ali Sina ingin menghabiskan waktunya bersama sahabat dekatnya, Bernama Ibnu Said. Penuturan Amu Amir, sebagai warga lokal Hamedan, penulis pertegas dalam buku “The Road to Persia” karya Afifah Ahmad yang menjelaskan bahwa di rumah Ibnu Said ini, Ibnu Sina disemayamkan bersama sang sahabat karim.
14 menit berlalu, Amu Amir terus bercerita mengenai tanah kelahirannya, sementara aku melihat pegungungan bebatuan yang dihiasi oleh sinar terik. “Hawanya begitu enak, kalau kita menggunakan transportasi umum. Akan tetapi, bagaimana dengan berjalan kaki atau menaiki seekor kuda? Pasti terasa panas, belum lagi bebatuan dan terik matahari yang menghiasi perjalanan kami. Bagaimana dengan Bu Ali Sina yang melakukan perjalanan dari Rey ke Hamedan? Pasti melelahkan”, ucapku dalam hati.
Ziarah ke Makam Ibn Sina
Tak terasa, kami tiba tepat di Meidan-e Bu Ali Sina, tepat di seberang rumah Ibnu Said. Orang-orang ternyata tidak sekadar datang untuk berjumpa dan berziarah kepada Ibn Sina, akan tetapi sebagian dari mereka juga menggelar tikar dan bercanda tawa menghabiskan waktu libur mereka. Petikan gitar dan biola dari tangan pengamen semakin memperkaya atmosfir para pelancong untuk menikmati liburan mereka di sekitaran makam Bu Ali Sina. Beberapa saat setelah mendengar petikan biola dan gitar, kami pun memutuskan untuk masuk dan berkunjung ke pusara Bu Ali Sina. Harga yang tiket untuk memasuki pusaran Ibn Sina tidak terlalu mahal, meski bervariasi. Tiket masuk untuk mahasiswa dipatok sebesar 50.000 riyal Iran atau 2.300 rupiah dengan memperlihatkan paspor dan kartu mahasiswa; tiket pelancong atau turis luar negeri, sebesar 1.000.000 riyal Iran atau 47.000 rupiah.
Setelah melewati loker pembelian tiket, kami disambut oleh makam Ibn Said yang seolah-olah para pengunjung harus meminta izin terlebih dahulu dengan pemilik rumah. Setelah menziarahi sahabat karib Ibn Sina, kami segera masuk ke bangunan pemakaman Ibn Sina. Secara struktur, bangunan pemakaman Ibn Sina terdiri dari 3 ruang, terletak di arah kiri, kanan, dan depan pintu masuk. Dari pintu kiri, kita dapat menyaksikan lukisan besar Ibn Sina yang menggambarkan bahwa seolah Ibn Sina menyambut kedatangan para pelancong. Sedangkan pintu kanan, terdiri dari peralatan medis yang digunakan Ibnu Sina untuk meracik obat-obatan herbal. Adapun di ruang tengah, terdapat pusara Ibn Sina, tanaman obat yang digunakan Ibn Sina, karya-karya Ibn Sina, dan beberapa lukisan yang menjelaskan perjalanan hidup sang pendiri bangunan pemikiran Peripatetik dari kecil hingga akhir hayatnya.
Merenungi Pemikiran Ibn Sina
Setelah menyusuri bangunan pemakaman Ibn Sina, kami memutuskan untuk memanjatkan doa sembari merenungi ragam pemikiran Bu Ali Sina yang sangat berpengaruh dalam ilmu pengetahuan, tidak sebatas ilmu kedokteran, akan tetapi juga filsafat, seni, psikologi, dan kalam yang masih dipelajari dan dikaji sejak kepergiannya, sekitar 985 tahun yang lalu, di alam yang fana ini. Meski telah tiada secara jasad atau fisik, namun jiwa dan pemikiran Ibn Sina masih hadir dalam pemikiran para penikmat karyanya.
Saya teringat salah satu karyanya berjudul “al-Nafs min Kitāb Shifā’” sebuah buku yang menjelaskan keberadaan jiwa manusia secara komprehensif. Diketahui bahwa Ibnu Sina memaknai jiwa melalui dua definisi: Pertama, pemaknaan umum bahwa jiwa merupakan kesempurnaan pertama yang dimiliki manusia untuk hidup dan bergerak di realitas. Kedua, pemaknaan khusus bahwa jiwa merupakan inti kesadaran eksistensi manusia di realitas. Saat manusia lahir di dunia, dia tidak dapat merasakan panas dan dingin, serta tidak dapat menggerakan kaki dan tangannya. Akan tetapi, manusia menyadari, tanpa keraguan, bahwa dia ada saat itu. Ibn Sina menjelaskan bahwa jiwa merupakan sumber kesadaran manusia saat pertama kali lahir ke dunia.
Mengenali Jiwa dalam Kaca Mata Ibn Sina
Lebih lanjut, Ibn Sina memperjelas makna kesempurnaan pertama dalam definisi umum, yaitu “kamal” terbagi menjadi dua bagian berdasarkan eksistensi objek di realitas. Kamāl-e awwalī atau kesempurnaan primer, adalah keberadaan objek yang tidak bergantung di luar dirinya untuk eksis di realitas, seperti bentuk pedang. Sedangkan, kamāl-e tsānī atau kesempurnaan skunder adalah kebergantungan suatu objek terhadap wujud kesempurnaan primer, seperti ketajaman pedang. Dalam penalaran filsafat Ibn Sina, jiwa merupakan kesempurnaan primer yang bersifat potensial untuk menggerakan dan menghidupkan manusia melalui ragam daya atau potensi nafs di realitas.
Lebih lanjut, daya-daya dalam jiwa terdiri dari 3 fakultas utama, yaitu tumbuhan, hewan, dan rasional. Fakultas tumbuhan terdiri dari 3 daya utama, yaitu daya reproduksi, daya tumbuh, dan daya nutrisi. Sedangkan, daya hewan merupakan kesempurnaan dari daya tumbuhan yang terdiri dari 2 daya utama, yaitu: Daya khādimeh dan daya mustkhdimeh. Daya khādimeh, meliputi daya-daya tumbuhan. Adapun, daya mustkhdimeh terdiri dari daya persepsi dan penggerak. Daya persepsi meliputi indra batin dan lahir yang menghasilkan berbagai gambaran partikular, sehingga tidak heran bahwa hewan pun dapat merasakan kasih sayang dan takut yang bersifat parsial. Adapun, daya penggerak terdiri dari kekuatan syahwat dan amarah yang menjelaskan keberanian hewan untuk melawan dan menghindari berbagai situasi yang membahayakan dirinya. Abu Hasan Bahmanyar, salah satu murid ternama Ibn Sina menganalogikan perilaku manusia yang senantiasa berpikir pendek dan emosi sebagai jiwa hewan.
Menyempurna Bersama Ibn Sina
Sedangkan, struktur fakultas jiwa terakhir adalah jiwa rasional, dipandang sebagai kesempurnaan dari seluruh tingkatan jiwa, terdiri dari 2 daya utama, yaitu akal teoritis dan praktis. Dalam “Mabda wa al-Ma’ād, Ibn Sina menjelaskan bahwa akal teoritis merupakan kesempurnaan pertama yang dimiliki jiwa untuk menganalisis berbagai gambaran atau konsep partikular untuk menghadirkan pengetahuan yang bersifat pasti dan benar, sehingga individu akan berperilaku baik berdasarkan pengetahuan yang benar dan pasti. Ibn Sina menjelaskan bahwa manusia harus memaksimalkan rasio atau akalnya untuk mengetahui hakikat keberadaannya sebagai ruang aktualitas daya-daya jiwa. Jika manusia dapat mengaktualkan daya-daya jiwa, maka manusia akan mengetahui makna di balik materi yang mengantarkan dirinya memahami makna hidup di alam yang fana ini.
Kini, jiwa Ibn Sina telah menyempurna bersama dengan pemikirannya. Para penikmat tidak sebatas merenungi setiap tinta emasnya. Akan tetapi juga menjadikannya sebagai suri tauladan untuk terus belajar dan memahami maknai hidup melalui aktualitas daya-daya jiwa. Mayoritas manusia tidak mengetahui arah hidupnya. Karena senantiasa menggantungkan kesenangan dan tujuan hidup melalui gemerlap materi tanpa melihat jiwa sebagai substansi kebenaran eksistensi manusia di relitas. Tak terasa sudah 2 jam, kami berada di pusara yang pemikir hebat ini. Kami pun memutuskan untuk berpamitan kepada sang pemilik rumah dan filsuf fenomenal ini, seraya berharap pancaran pengetahuannya dapat menyampar di relung ide-ide penulis.
Editor: Ahmed Zaranggi
Referensi:
Afifah Ahmad. The Road to Persia: Menelusuri Keindahan Iran yang Belum Terungkap. Yogyakarta: Bunyan, 2013.
Ibn Sina. al-Nafs min Kitāb Shifā’. Qom: Makthabe Ulum-e Islam, 1417 H.
———-. Mabda wa al-Ma’ād. Tehran: Muasseh-e Muthāle’āt-e Islamī, 1363 SH.
Kholid al-Walid. Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Sadra. Jakarta: Sadra Press, 2012.
Muhammad Ibrahim. Tārikh-e Syahr-e Hamedān. Jurnal Bostan Shināsī, Vol. 1, Vol. 1 (1390 SH)
Muhammad Utsman Najati. Jiwa dalam Pandangnan Para Filsuf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
2 thoughts on “Berziarah ke Pusara Ibn Sina: Merenungi Eksistensi Jiwa”