Modernitas selama ini tampil megah dengan hidup gemerlap kemilau kerlap-kerlip optimisme bersama hingar-bingar berbagai jargonnya; produktivitas, efisiensi, dan kemajuan. Tidak bisa dipungkiri, modernitas memberikan banyak sumbangan positif dan penting bagi kehidupan manusia, terutama percepatan kemajuan teknologinya yang menyentuh semua lini. 

Tetapi di sisi lain, modernisasi menimbulkan masalah serius bagi kehidupan manusia. Anthony Giddens menggambarkan konsekuensi dari modernitas sebagai panser raksasa yang disebut Juggernaut, kereta kematian yang terus mengancam untuk menggilas siapapun yang berada di depannya. Perubahan begitu cepat memunculkan masyarakat beresiko dalam putaran dunia tanpa kendali. 

Masalah ini tidak bisa dipisahkan kapitalisme dan industrialisasi sebagai bagian tahapan penting dari modernisasi. Sosiolog Prancis, Michel Wieviorka menyebut sistem kapitalisme dunia yang berkembang saat ini sudah mengarah pada tingkat super kapitalisme yang mengontrol hampir semua sektor ekonomi dunia. Sebab, sistem ini memiliki mekanisme mengatur dirinya sendiri, yang dalam ilmu ekonomi diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan menjelma menjadi binatang buas tak terkendali. 

Dari kacamata ilmu ekonomi modern, masalah ini timbul dari pengaruh mazhab filsafat Utilitarianisme yang memandang nilai manusia dari tingkat kepuasan yang diperolehnya. Sebuah tindakan seseorang dikatakan baik, jika mampu meningkatkan kepuasan bagi dirinya sendiri. Tapi jika tidak, maka harus ditinggalkan. Berdasarkan pandangan ini, kepuasaan berbanding lurus dengan utilitas yang diperolehnya. Teori kepuasan maksimum yang menjadi prinsip dasar dalam ekonomi berpijak dari utilitarianisme.

Persoalannya, pondasi pemikiran utilitarianisme hanya mempertimbangkan tujuan materil saja. Oleh karena itu, untuk memenuhi kepuasan puncak, dibentuklah lingkaran materialistik sistemik mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi produk dengan pelayanan yang sebaik-baiknya. 

Pemikiran semacam ini melahirkan bentuk “manusia satu dimensi” yang menyebabkan ilmu ekonomi tampil menjadi sekedar besaran-besaran angka saja. Lalu lintas arus informasi yang hilir mudik di kepala kita pun telah dibingkai dengan kacamata angka. Lebih parah lagi, angka dijadikan sebagai bahasa adiluhung untuk membenarkan sebuah keputusan dari individu hingga kebijakan pemerintahan. 

Lebih dari itu, angka dewasa ini telah didaulat menjadi cara terbaik bagi kita untuk memahami dunia. Tidak sedikit para ekonom dan pengamat sosial cenderung terjebak pada angka-angka kuantitatif yang nyaris tidak memberikan ruang bagi pembacaan kualitatif. Dalam bidang ekonomi, besaran seperti produk domestik bruto (PDB), nilai tukar, inflasi, cadangan devisa, dan lainnya.

Hal ini menjadi tolak ukur pembangunan ekonomi sebuah negara menyisihkan faktor lain yang mungkin lebih penting. Belakangan muncul revisi dengan memasukkan unsur yang lebih humanis sebagaimana dilakukan Amartya Sen, tapi berbagai kalangan masih melihat belum menghujam akar masalah. 

Filsuf ekonomi semacam Alexander Rosenberg melihat masalahnya berkaitan dengan ilmu sosial yang saat ini tidak menunjukkan perkembangan progresif. Profesor filsafat ekonomi Universitas Duke, AS ini menunjukkan gunung es masalah ilmu ekonomi yang dipicu kian menjauhnya ilmu ekonomi dari ilmu sosial. Padahal sebagian karakteristik ilmu ekonom relatif tidak cocok dengan ilmu alam yang cenderung statis dalam menjelaskan sebuah fenomena. 

Pandangan Rosenberg didukung oleh studi Mirowski dalam More Hit Than Light; Economics as Social Physics: Physics as Nature Economics (1989) mengenai jejak historis ekonomi meniru fisika, khususnya yang berkaitan dengan teori nilai. Dia melacak perkembangan dari konsep energi dalam fisika Modern dan efek selanjutnya terhadap kemunculan teori ekonomi neoklasik hingga modern.

Lebih menukik, Mirowski dalam Never Let a Serious Crisis Go to Waste: How Neoliberalism Survived the Financial Meltdown (2013) menyimpulkan bahwa pemikiran Neoliberal telah begitu menggurita dalam ilmu ekonomi. Bahkan Neoliberalisme menjadi “Teori Segalanya” yang menyediakan rekening evaluasi, pengetahuan, informasi, pasar, dan pemerintah, serta seluruh data ekonomi. 

Dengan intonasi dan ritme berbeda, penjelasan Mirowski menguatkan temuan Foucault dalam The Birth of Biopolitics: Lectures at the College De France, 1978-1979 (1988) yang melihat kelahiran teori “Manusia Ekonomi” atau Homo Economicus berkaitan perkembangan Liberalisme dan Neoliberalisme sebagai rezim kebenaran ilmu ekonomi.

Menyikapi masalah tersebut, Bruno S. Frey dalam Inspiring Economics Human Motivation in Political Economy (2001:10-20,) menekankan urgensi pergeseran paradigma ekonomi menjadi lebih aspiratif dengan menyerap berbagai disiplin ilmu sosial. Profesor ekonomi Universitas Zurich, Switzerland ini memberikan contoh perbandingan antara ekonom, psikolog dan sosiolog tentang motivasi ekonomi. Menurut Frey (2001:14) psikolog dan sosiolog membedakan antara dua jenis motivasi ekonomi: motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Sedangkan ekonom masih tetap berpendapat bahwa motivasi intrinsik bersifat konstan, padahal dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang dinamis.

Melacak  Sumbangsih Filsafat

Menyikapi kondisi demikian, ilmu ekonomi mesti kembali ke pangkuan induk semangnya. Ilmu filsafat bisa memberikan kontribusi penting setidaknya dalam dua hal. Pertama, memberikan peta besar di mana letak sebuah teori berada. Jika filsafat adalah perpustakaan besar, ilmu ekonomi dan disiplin ilmu lainnya adalah deretan buku yang berjajar dan bertumpuk di rak-rak buku yang perlu ditata dan disistematisasi dengan coraknya yang sistematis, holistik, komprehensif dan universal. Kedua, menguji hasil-hasil ilmu pengetahuan dan kelemahannya bukan dari ilmu itu, tapi dari posisinya sebagai bagian dari rangkaian keseluruhan.

Misalnya, trickle-down  economics yang mengibaratkan pertumbuhan ekonomi seperti tetesan air dari atas ke bawah. Asumsi besar teori ini, semakin besar jumlah orang kaya, maka akan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara, dan kesejahteraan orang miskin pun semakin tinggi.Tapi faktanya teori ini keliru, sebab tidak memperhitungkan dampak makro kesenjangan sosial. Studi Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2013) menunjukkan sebaliknya. Kesenjangan ekonomi tidak hanya memperparah kemiskinan maupun menyulut ketidakpuasan sosial dan gejolak politik, tapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghalangi tercapainya kemakmuran bersama. 

Ketiga, filsafat memberikan dorongan untuk membuka ruang-ruang baru bagi kebijaksanaan. Sebab, salah satu masalah besar dunia saat ini mengenai kesenjangan antara pengetahuan dan kebijaksaan, antara knowledge dan wisdom yang tidak akan ditemukan dalam sains berbasis positivisme.

Persoalannya, pengetahuan yang dihasilkan dari ilmu sosial berbasis positivisme selama ini yang memicu kritik dari para ilmuwan mengenai hilangnya makna dan kebijaksanaan. Positivisme lebih mementingkan empiris indrawi dan mengabaikan makna di balik indrawi, akibatnya hasil-hasil penelitian ilmu sosial menjadi kehilangan makna. 

Selain itu, fakta sebagai fakta menjadi tidak ada artinya dan tidak terpahami manusia, kecuali diberikan pemaknaan berdasarkan teori tertentu. Positivisme mengunggulkan fakta fragmentaris, yang berakibat terjadinya reduksi pemahaman terhadap realitas. Dari sini saja sebetulnya sudah bisa diperoleh urgensi pemahaman terhadap realitas bukan hanya dengan positivisme tapi lebih luas dari itu.

Paradigma positivisme yang telah mengakar dalam sains modern membuat manusia cenderung gagal memahami sebagian pengetahuanya sendiri. Oleh karena itu, ilmu sosial, terutama ilmu ekonomi harus semakin terbuka dan mencerap pengetahuan dari disiplin ilmu lain dengan menjauhi dominasi positivisme. Sampai di sini, saya sepakat dengan Michael Polanyi, “Positivism supplies a false account of knowing, which if taken seriously undermines our highest achievements as human beings”. 

Bagi saya, hidup tidak seperti dalam keratan sains berbasis positivisme yang menilai kehidupan ini hitam atau putih, tapi ada warna-warni yang mengisinya dengan keindahan dan kebijaksanaan. Tampaknya tepat penyair kontemporer Iran, Sohrab Sepehri menggambarkan kehidupan ini yang tidak kosong atau hitam putih, tapi warna-warni dalam bait syairnya yang menawan.

 

Zendegi khali nist

Mehrabani hast

Sib hast

Ari, ta shaghayegh hast zendegi bayad kard

 

Hidup tidak kosong

Ada kasih sayang

Ada apel

Ya, selama ada bunga, maka hiduplah

 

Penulis: Purkon Hidayat

Editor: Wa Ode Zainab ZT



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

One thought on “Hidup Tidak Hitam Putih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

16 + 7 =