Tentang Imam Syafi’i

Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i. Beliau sering dipanggil dengan nama Abu Abdullah, sebab putranya bernama Abdullah, sebelum beliau dikenal dengan nama Imam Syafi’i. Beliau lahir di Gaza pada tahun 150 H./767 M. Banyak kitab yang beliau tulis, salah satunya kitab Ar-Risalah perihal etika.

Syair Imam Syafi’i

Imam Syafi’i juga dikenal dengan syair-syair yang ditulisnya. Sebagaimana puisi dalam  masyarakat  tradisional  Arab  dikenal  dengan  istilah  Syi’ir. Sejarah kesusastraan Arab telah mengungkapkan bahwa kebiasaan bangsa Arab pada umumnya adalah senang menggubah  syair.

Latar belakang kehidupan Imam Syafi’i sebagai ahli hukum syari’at Islam sangat mewarnai tema-tema syairnya. Beliau sangat tertarik dengan persoalan etika (al-akhlaq al-karimah) dan pergaulan. Sementara tema-tema lain yang cukup mendominasi syair-syair Imam Syafi’i ialah pengembaraan dan menuntut ilmu (talabu al-ilmi).

Kawan tak jaga namamu, selain karena terpaksa

Tinggalkan dengan segera, janganlah banyak berduka

Masih banyak penggantinya, beralih akan gembira

Orang yang sangat setia, kan bersabar walau duka

 

Mereka yang kau rindukan, belum tentu balas rindu

Orang yang telah kau pilih, belum tentu memilihmu

Bila di dalam berkawan, tidak dengan ketulusan

Paksaan tak mendatangkan, keduanya kebaikan

Takkan membawa faedah, karib berulah khianat

 

Keduanya ‘kan terbentur, pada perilaku kesat

Sebentar ia berbalik, tak menghitung kebajikan

Bahkan akan menampakkan, siri yang telah terpendam

Bila tidak ada kawan, selamat tinggal hai dunia

Yang sangat tulus dan benar, berpegang janji dan setia.

 

Di dalam syair mengenai kawan sejati yang ditulis Imam Syafi’i di atas, penulis memperoleh gambaran etika terhadap orang lain. Bahwa seorang sahabat seharusnya saling memberi pertolongan, memberi maaf jika melakukan salah dan selalu menunjukkan ketulusan.

Senapas dengan asas utilitas, etika terhadap diri sendiri dijelaskan di baris kedua. Bahwa di saat merasa persahabatan sudah tidak memberi kenyamanan dan faedah, baiknya ditinggalkan.

Perihal Etika

Bertens menulis bahwa etika adalah ilmu tentang adat kebiasaan. Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” (pandangan hidup yang khas). Etika bersinonim dengan kata moral, diturunkan dari kata latin, “mores”. Berasosiasi dengan segala hal yang normatif. Mengapa seseorang memiliki moral, salah satu penyebabnya adalah adanya nilai di masyarakat.

Salah satu dari nilai tersebut adalah memberi perhatian. Memberi perhatian merupakan bagian dari sikap menghormati orang lain. Menghormati dan menghargai kawan bicara bisa dengan cara memperhatikan. Konsep melihat dan dilihat ini penting mengingat sangat tidak nyaman ketika seseorang berbicara sementara wajah menghadap ke arah lain. Misalnya pada ponsel atau sibuk berbicara dengan orang lain.

Etika juga dikaji dari aspek konsekuensi perangai dan sumber konsekuensi perangai tersebut. Jeremy Bentham (1748-1832) memandang bahwa suatu tindakan memiliki nilai objektif apabila membawa manfaat atau tidak.

Imam Syafi’i mengejawantahkan etika dalam syair mengenai kawan sejati di atas. Sebuah syair berisi gambaran moral terhadap orang lain dan diri sendiri. Berisi pertimbangan hati nurani dan kehendak untuk bertindak.

Dr. Imil Badi’ Ya’qub—penyusun buku Untaian Senandung Syair Diwan Imam Syafi’i—menulis perihal etika. Bahwa yang dinamakan etika merupakan kondisi atau sikap yang telah meresap dalam jiwa. Sikap itu akan mengekspresikan berbagai perbuatan. Etika menjadi penting, bahkan indikasi paling dominan mengenai baik buruknya peribadatan seseorang.

Meski tidak ada hukum yang mengatur, manusia bertanggung jawab atas tindakannya. Hal tersebut disebut sebagai epikeia yaitu prinsip kemerdekaan. Ada kewajiban kebaikan yang bersifat transendental dan absolut pada sesama.

Etika dalam Syair Imam Syafi’i

Syafi’i menerangkan mengenai etika terhadap diri sendiri dalam wujud rasa syukur atas segala karunia. Beliau seolah ingin menyeru bahwa jangan pernah memuliakan seseorang secara berlebihan, tidak juga mengurangi rasa hormat kepada seseorang secara berlebihan. Berpegang pada prinsip kemerdekaan (epikeia) bahwa meskipun hukum tidak ada, manusia tetap memiliki tanggung jawab atas semua perangai yang dieksiskan.

Akhlak yang baik, kedermawanan, sikap rendah hati dan ibadah merupakan empat rukun kehormatan menurut Imam Syafi’i. Latar belakang kehidupan Imam Syafi’i sebagai ahli hukum syari’at Islam mewarnai tema-tema syairnya. Beliau sangat tertarik dengan persoalan etika dan pergaulan.

Jika egosentris dan sosiosentris telah berdialektika, maka aspek rasionalitas akan sukar dikedepankan. Mengenai etika bergaul, Imam Syafi’i menerangkan bahwa orang yang tulus dan tidak egosentris dalam bersaudara akan menerima kekurangan saudaranya, mengabaikan kelemahan dan memaafkan segala salahnya. Etika yang dianjurkan oleh Syafi’i akan bermuara pada principium totalitatis, bahwa totalitas lebih penting dibandingkan yang partikular.

 

Editor: Ahmed Zaranggi



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × four =