Published On
Categories

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Salah satu unsur yang membedakan antara manusia dan makhluk-makhluk lainnya adalah adanya akal dan kehendak. Akal, yang pada dasarnya dapat membimbing manusia untuk dapat membedakan mana baik dan mana buruk, jika disesuaikan dengan kehendak baik dan umum dalam diri manusia, tentunya hal tersebut dapat mengarahkan manusia pada kehidupan yang baik. 

Namun, bagaimana jika sekiranya kehendak yang seharusnya dapat membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik, justru lebih banyak condong pada kehendak individu yang kerap kali berkaitan dengan keegoisan diri? Bagaimana jika sekiranya kehendak yang jika disesuaikan dengan kehendak manusia pada umumnya dapat dengan baik mengatur kehidupan manusia, justru dimanfaatkan oleh manusia-manusia tak bertanggung jawab hanya untuk kebaikan dan kepentingan individu? 

Sebagai penganut mazhab atau gerakan romantisme, Rousseau menempatkan individu [manusia] pada kedudukan tinggi. Rousseau, sebagaimana halnya pendahulunya, Locke, berpendapat bahwasanya manusia pada dasarnya adalah baik. Keduanya juga sama-sama mengusulkan adanya kontrak sosial. Tujuan dari kontrak sosial adalah untuk membentuk suatu masyarakat yang dapat memobilisasi kekuatan bersama dengan dukungan semua anggota, serta untuk tetap memiliki kebebasan yang sama, meskipun mereka disatukan dengan lainnya. 

Rousseau adalah seorang pendukung teori ketundukan total individu manusia terhadap negara. Menurutnya, otoritas publik turut mencegah adanya suatu gerakan anarkis. Di sini, Rousseau menjelaskan bahwa manusia menyerahkan semua hak dan kebebasannya tidak hanya pada segelintir orang atau kelompok, melainkan kepada keseluruhan komunitas. Sebagaimana peryataannya, “Manusia terlahir bebas, tetapi ia selalu terbelenggu.” 

Bagaimana jika sekiranya setiap individu memiliki kebebasan yang sama, bukankah itu dapat menimbulkan adanya perbeturan kebebasan dan kehendak? Untuk menjawab pertanyaan ini, Rousseau menggunakan teori kontrak sosialnya mengenai konsep general will. General will diartikan sebagai keputusan mutlak yang tidak didasarkan pada kepentingan pribadi atau disebut kehendak umum.

Sementara itu, Kant, sebagaimana halnya para penganut mazhab idealis lainnya, berpendapat bahwasanya akal adalah lebih tinggi dibandingkan dengan indra atau pengalaman. Idealisme ini mencoba untuk memahami masyarakat sipil dan institusi-institusinya dari segi rasional murni.

Adapun tujuan umum para idealis politik adalah untuk menentang teori-teori individualistik yang melihat negara hanya sebagai suatu hasil dari kehendak manusia belaka. Karya Kant yang berjudul Pepetual Peace, merupakan salah satu bentuk pemikirannya yang di dalamnya membahas mengenai kedamaian dan hubungan antar sesama warga negara dalam suatu hukum universal.

Berbeda dengan para pendahulunya, Locke dan Rousseau, Kant berpendapat bahwa keadaan alamiah manusia adalah state of war. Maka dari itu, menurutnya, manusia harus berupaya untuk berfikir secara rasional, yang dengannya, manusia mampu membentuk suatu kesepakatan yang dapat menjamin kehidupan mereka. Karenanya, Kant mengartikan ”general will” sebagai suatu kesepakatan universal yang mampu menjembatani permasalahan antara kebebasan individu dan kebebasan orang lain. Bagi Kant, jika semua orang berkehendak dan bertindak sesuai dengan hukum atau kesepakatan universal, maka kebebasan moral individu dan kebebasan moral orang lain akan dapat diselaraskan, karena semua orang memiliki konsepsi yang sama mengenai kesepakatan universal tersebut.

Menurut Hegel, konsep kehendak adalah kebebasan. Kebebasan adalah substansi dari kehendak, maka dari itu, kehendak ditentukan oleh kebebasan untuk dapat mewujudkan dirinya. Namun demikian, kebebasan manusia bukan sekadar sikap otonomi batin, melainkan merupakan hakikat seluruh kerangka sosial yang di dalamnya manusia merealisasikan dirinya. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga lembaga kehidupan yang satu sama lainnya adalah saling berhubungan, yaitu hukum, moralitas individu, dan tatanan sosial-moral. Hegel mengartikan ”general will” sebagai kebebasan ekspresi roh, artinya, ”general will” adalah sebuah kehendak universal dan rasional. Bagi Hegel, negara hanya merupakan media bagi tercapainya tujuan tertinggi manusia dan dunia.

Menurut Hegel, kebebasan bagi manusia yang sebenarnya bukanlah berupa pemenuhan keinginan individualnya. Kebebasan sejati bagi manusia ada dalam tindakannya yang sejalan dengan roh universal. Artinya, manusia bertindak sesuai dan sejalan dengan kehendak riilnya, bukan berdasarkan dorongan nafsunya. Manusia yang bebas adalah manusia yang mampu menempatkan dirinya secara total dalam tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh masyarakat politik atau negara terhadapnya. Dalam konteks ini, kehendak bebas ada dalam persesuaian dengan roh universal yang pada dasarnya terwujud dalam hukum negara.

 

Referensi:

Kenny, Anthony.  A New History of Western Philosophy. Vol 3. The Rise of Modern 

Philosophy.Clarendon Press-Oxford University Press. New York: 2006.

Parkinson, G.H.R. Routledge History of Philosophy Volume IV (The Renaissance and 17th 

Century Rationalism). Routledge. London and New York: 2005.

Schmanot, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Zaman 

Modern. Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2002.

 

Penulis: Nanik Yuliyanti

Editor: Wa Ode Zainab ZT



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 3 =