Di tahun 1650-an terbit sebuah karya berjudul De Cive dari seorang filsuf kenamaan Inggris Thomas Hobbes. Judul De Cive berarti “tentang warga negara” berisikan kajian filsafat politik Hobbes mengenai asal-usul tatanan kemasyarakatan. Dengan sebuah diktum fundamental homo homini lupus, yang merepresentasikan manusia layaknya serigala oportunis yang menjadi “lawan” bagi sesamanya.

Traktat De Cive mula mula menolak thesis terkenal dari Aristoteles dalam bidang politik. Bahwa, “manusia secara alamiah pas untuk hidup dalam polish (negara) dan perlu mengenali kembali sifat alamiahnya dalam latihan hidup bernegara”.

Hobbes membalikkan klaim Aristoteles tersebut menjadi, “manusia secara alamiah tidak pas untuk hidup dalam tatanan politis”. Bagi Hobbes manusia secara alamiah saling menjelekkan dan berkompetisi dengan sesamanya. Komune mudah diombang-ambingkan oleh seorang retoris yang ambisius dan memikirkan kepentingan sendiri daripada orang lain.

Kehendak manusia terus-menerus memperluas nilai ketertarikan, khususnya melalui nilai kedekatan. Di dalam kebebasan, diperluas menjadi kemakmuran, diperluas lagi menjadi kehendak eksploitasi, invasi dan seterusnya.

Pada saat yang sama, sebagian besar orang dalam mengejar kehendak mereka, tidak memiliki abilitas untuk saling bersaing secara fair. Mereka juga tidak memiliki standar alamiah yang dapat membuat orang lain mematuhi mereka. Maka tidak ada batasan absolut, bahkan bagi orang moderat untuk tidak melakukan kekerasan dalam berbagai bentuk; verbal, abusive, ataupun kekerasan sistemik sebagai usaha untuk melindungi apa yang mereka miliki.

Nietzsche

Di dalam Nietzsche kita akan menemukan konsepsi yang lebih fundamental mengenai manusia. Kehendak yang dimaksud Hobbes, diradikalkan oleh Nietzsche sebagai “kehendak kuasa” / “will to power”. “Kehendak kuasa” adalah konsep penting dari filsuf Jerman abad 19 ini.

Nietzsche menemukan konsep tersebut terpengaruh oleh The World as Will and Representation karya Schopenhauer. Ia menawarkan visi pesimistik terhadap hidup yang digerakkan oleh daya penderitaan dan irasional bernama “kehendak”. Sebagai esensi dinamis dari dunia, kehendak memanifestasikan dirinya melalui bentuk sexual drive, yaitu kehendak untuk hidup dan mempertahankan hidup.

Kemudian Kehendak kuasa di dalam Nietzsche dapat dipahami sebagai daya yang irasional dalam diri manusia, yang bisa diwujudkan dalam tindakan bermacam-macam. Kehendak kuasa bagi Nietzsche bukanlah sebagai hal baik ataupun buruk. Kehendak kuasa adalah drive dasariah dalam diri setiap orang, dan orang akan mewujudkannya dalam cara yang berbeda-beda.

Filsuf berkehendak mencari kebenaran, seniman berkehendak menciptakan karya, pebisnis berkehendak mendapatkan kekayaan. Dan perang yang kita saksikan kini, mungkinkah merupakan kehendak dari keadilan itu sendiri ataukah kehendak dari figur berkuasa?

Moralitas Tuan-Budak

Nietzsche meyakini Drive kehendak tadi menciptakan tatanan moral yang selalu terdikotomi antara moralitas tuan dan moralitas budak. Di dalam moralitas tuan terdapat kehendak-kehendak yang kuat. Nietzsche mengkritisi bagaimana ideologi politik Inggris kontemporer mengatur segala yang dikategori baik sebagai yang menolong, sedangkan yang buruk sebagai yang menyakiti.

Dikotomi hitam putih ini membuat orang lupa akan nilai intrinsik kebaikan dan keburukan. Dikotomi tuan budak menjadikan orang dengan kehendak kuat adalah yang baik. Sementara yang buruk adalah mereka yang lemah, perlu diatur, dan seterusnya. Secara paradoksal, will to power adalah aktualisasi dari hegemoni tuan-budak tersebut. Dan will to power lah yang akan menjaga hegemoni tersebut.

Tuan-Budak Dalam Sejarah

Menurut Nietzsche, tegangan actus tuan dan budak terjadi di sepanjang sejarah. Ia melihat bahwa Yunani dan Romawi kuno dibangun oleh moralitas tuan. Ksatria Homeric di jaman Yunani adalah manusia yang berkehendak kuat, contohnya dalam kisah Iliad dan Odyssey.

Moralitas tuan di dalam cerita-cerita kepahlawanan akhirnya dikalahkan oleh moralitas budak. Sebagaimana kristianitas menawarkan bentuk otoritas baru yang didasari nilai cinta kasih pada masa kekaisaran Romawi.

Hingga kini, kehendak kuasa masih menjadi aparatus utama dari tatanan kemasyarakatan dunia. Negara-negara yang memimpin ordinasi dunia turut menjadi para tuan bagi para negara sub-ordinat.

 

Editor: Ahmed Zaranggi

Sumber :

https://www.britannica.com/biography/Thomas-Hobbes/Intellectual-development_

https://www.thoughtco.com/nietzsches-concept-of-the-will-to-power-2670658_

https://en.wikipedia.org/wiki/Master%E2%80%93slave_morality_



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven + ten =