Berbicara mengenai ibu kota, tentu kita akan mengingat sebuah anekdot yang berbunyi “Se-kejam-kejamnya Ibu Tiri lebih kejam Ibu Kota”. Kata-kata ini terdengar ketika penulis sedang asyiknya menonton film Warkop D.K.I Dono, Kasino, dan Indro. Banyak alasan yang melatarbelakangi arus urbanisasi masyarakat pedesaan yang pada akhirnya memutuskan untuk ke kota. Bisa jadi karena ingin mendapatkan hidup yang lebih baik, mendapatkan pendidikan yang lebih baik, hingga mungkin mendapatkan jodoh yang lebih cantik. (Teman penulis yang berasal dari Ambon konon katanya pindah ke kota karena ingin mendapat jodoh yang lebih cantik dan terpelajar). Masuk akal memang, kota dengan sejuta mimpi dan harapan selalu menggiurkan masyarakat desa untuk datang dan mendiaminya. Akan tetapi apa betul sesederhana itu alasan dan sebab kedatangan masyarakat pedesaan ke kota? Tentu tidak.
Pengaruh Globalisasi
Globalisasi lagi-lagi penulis salahkan atas penyebab derasnya arus informasi. Dari film sinetron, hingga film layar lebar seakan menunjukkan sisi keindahan mimpi ibu kota dengan rumah yang megah dan penghidupan yang lebih baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan senada dengan esai penulis sebelumnya yang membahas penyebaran ide dan ideologi. Lagi-lagi penulis menggunakan pemikiran dari Filsuf kontemporer Jean Baudrillard tentang masyarakat konsumsi. Hanya saja kali ini, penulis akan menitikberatkan pada problem periklanan dan film yang kadang luput dari pengamatan mata telanjang. Teringat akan propaganda Nazi yang disebarkan melalui film-film bernuansa heroik, penulis tergugah untuk melihat lebih jauh aspek komunikasi masa yang di dalamnya terdapat Film dan Periklanan.
Tentu sebagian besar film dan periklanan yang beredar pada era globalisasi sekarang memakai latar perkotaan. Ketika gedung-gedung bertingkat, mobil mewah dan kekayaan dari para penghuninya disajikan dalam sebuah bentuk realitas buatan. Dari titik inilah penulis berpandangan bahwasanya era konsumsi terjadi pada masyarakat pedesaan. Gairah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik seolah-olah membius masyarakat pedesaan yang memandang iri pada kemewahan kota.
Baudrillard menyatakan dalam salah satu bukunya bahwasanya manusia pada era globalisasi diselubungi oleh suatu faktor konsumsi dan pada kenyataannya manusia tidak pernah terpuaskan oleh apa yang telah ia miliki. Logika masyarakat konsumsi telah mengubah cara pandang masyarakat (Dalam kasus ini adalah masyarakat pedesaan) dari pemenuhan kebutahan menjadi sebuah pemuas hasrat. Masyarakat konsumsi akan membeli simbol-simbol kemewahan yang melekat pada suatu barang hasil produksi dengan harapan nilai hidup dan nilai diri individu di dalamnya meningkat (Pada akhirnya nilai simbolis menjadi sebuah komoditas). Untuk menjadi sebuah konsumsi, suatu objek harus berubah menjadi tanda (Sign) di saat objek itu baru bisa dipersonalisasikan.
Dunia Simulakra
Menurut Baudrillard masyarakat konsumsi sekarang bukanlah dibedakan dari kelas- kelas sosialnya seperti yang dipandang oleh Karl Marx, akan tetapi lebih dibedakan dari kemampuan konsumsinya. Siapapun dan darimana pun manusia dapat bergabung dengan kelompok masyarakat tergantung pola konsumsinya. Dalam pandangan Baudrillard, terdapat suatu pola yang sistematis dalam menggeser arti tanda, dan untuk menjadikannya sebuah objek konsumsi, objek harus berubah menjadi tanda.
Inti dari pendapat Baudrillard adalah friksi yang terjadi antara makna dan realitas. Menurut Baudrillard, logika konsumsi masyarakat tidak lagi berdasarkan nilai guna ataupun nilai tukar (Lagi-lagi pada poin ini Baudrillard merevisi pendapat Karl Marx) melainkan sebuah Nilai Tanda yang sifatnya dapat dikonstruksi. Hal ini dikarenakan rayuan daripada Iklan yang dikonsumsi oleh masyarakat justru menghilangkan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan menggantinya dengan hasrat untuk memiliki suatu objek (walaupun dia tidak dibutuhkan).
Dari sinilah terjadi proses menyatunya kenyataan dan simulasi yang kemudian melahirkan apa yang dinamakan Hiperrealitas. Media secara perlahan dan sistematis menjauhkan masyarakat (Dalam kasus ini masyarakat pedesaan) menjauh dari realitas, kemudian masyarakat “ter-racuni” oleh simulasi dan simulakra.
Modernitas dan Pemenuhan Hasrat
Senada dengan pendapat di atas, Chuck Palahniuk menulis dalam novelnya yang berjudul Fight Club “We’ve all been raised on television to believe that one day we’d all be millionaires, and movie gods, and rock stars. But we won’t. And we’re slowly learning that fact. And we’re very, very pissed off.. You buy furniture. You tell yourself, this is the last sofa I will ever need in my life. Buy the sofa, then for a couple years you’re satisfied that no matter what goes wrong, at least you’ve got your sofa issue handled. Then the right set of dishes. Then the perfect bed. The drapes. The rug. Then you’re trapped in your lovely nest, and the things you used to own, now they own you.. Advertising has us chasing cars and clothes, working jobs we hate so we can buy shit we don’t need.”
Dari tulisan Palahniuk dan pendapat Baudrillard, tersingkaplah apa yang menjadi sebuah dorongan kuat bagi masyarakat desa untuk pindah keperkotaan. Konsekuensi modernitas yang di dalamnya terdapat globalisasi telah mendorong manusia untuk terus mengkonsumsi (Dalam kasus ini adalah masyarakat pedesaan). Sehingga godaan untuk mendapatkan hidup lebih baik dan mengejar barang yang sebenarnya mereka tidak butuhkan, bahkan untuk membuat kagum orang yang mereka tidak sukai.
Permasalahan perpindahan masyarakat dari desa tidak hanya dapat dilihat dari kegiatan ekonomi dan faktor kesejahteraan. Melainkan terdapat maksud tersembunyi dari sekedar pemenuhan kebutuhan melalui perekonomian yang lebih mapan, Yakni pemenuhan hasrat yang disebarluaskan oleh film/sinetron yang mempertontonkan kemewahan hidup. Serta periklanan yang secara serampangan telah menggeser pemikiran masyarakat pedesaan dari berusaha memenuhi kebutuhan menjadi sebuahbencana pemenuhan hasrat.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.