Penulis: Martin Dennise Silaban
Editor: Murteza Asyathri

Ada tokoh yang menentang dan tidak sepakat bahwa zaman yang kita hidupi kini telah tercerahkan. Alih-alih tercerahkan, malahan menurutnya apa yang disebut sebagai pencerahan itu kini dianggap menghasilkan kegelapan yang tanpa tanding dalam sejarah umat manusia. Dia adalah Max Horkheimer, sang pencetus Teori Kritis yang terkenal juga dengan karyanya yaitu Eclipse Of Reason. Pada karyanya ini ia menelanjangi rasio (nalar) yang dibangga-banggakan oleh para filsuf. 

Dalam kata pengantar tulisannya ini, ia berkata bahwa di dalam modernitas yang kelahirannya disokong oleh pemikiran para filsuf, tertanam sebuah dialektika jahat. Manusia mau maju, tetapi kemajuan sendiri menjadi sebuah proses de-humanisasi. Manusia mau maju dengan mengembangkan sarana-sarana teknis penguasaan alam.

Rasionalitas yang mendorong zaman pencerahan semata-mata dipahami hanya sebagai sarana penguasaan dunia, sehingga dunia dipandang hanya sebagai objek yang dapat diekploitasi sesuai dengan kebutuhan manusia. Tidak ada lagi yang objektif pada dirinya sendiri, semuanya sudah subjektif yang nilainya ditentukan oleh manusia. Misalnya Alam, keberhargaan alam ditentukan pada seberapa bergunanya pada manusia.

Alam pada dirinya sendiri tidak lagi bermakna, tidak mempunyai tujuan dan nilai objektif. Oleh karena itu, Horkheimer menilai bahwa zaman pencerahan terkesan memandang penguasaan alam sebagai sarana utama rasionalisasi kehidupan manusia dan juga sebagai sarana menguasai alam demi pemenuhan keuntungan/ profitabilitas pada manusia. 

Penguasaan atas alam inilah yang akhirnya menghasilkan hubungan yang tidak baik antara manusia dengan alam. Alam dipaksa memenuhi keserakahan manusia yang tiada hentinya dari masa-ke masa. Selain itu, Horkheimer pun berpendapat bahwa penguasaan atas alam inilah menjadi cikal bakal bagi manusia untuk melakukan penguasaan atas sesama manusia.

Max Horkheimer dan Relevansinya bagi kita 

Jika melihat pandangan Horkheimer dan andaikata kita menariknya di masa kini, apa yang disampaikan nya masih sangat relevan untuk kita pertimbangkan dan refleksikan. Kita melihat bahwa melalui kecerdasan yang dimiliki manusia yang kita sebut sebagai rasio/nalar, manusia  menciptakan peralatan-peralatan yang bertujuan untuk mempermudah manusia. 

Teknologi juga dikembangkan sedemikian rupa dan tujuannya sangatlah pragmatis, yakni memiliki daya guna bagi manusia. Jika tidak sesuai dengan apa yang manusia inginkan maka dianggap tidak berguna. Termasuk beragam alat-alat yang dipergunakan untuk mengeksploitasi alam. 

Tidak heran kita melihat di berbagai wilayah pun di tanah air banyak kejadian bencana alam yang disebabkan oleh ulah manusia. Tren bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kebocoran gas beracun, pencemaran air, ledakan industri yang terjadi dikarenakan manusia. 

Di Daerah perkotaan sedemikian sulit untuk menemukan ruang terbuka hijau, hampir semua dijadikan lahan bisnis dan tentu hal ini ditujukan kegunaan dan keuntungan bagi manusia. Permintaan akan bertambahnya pemanfaatan lahan kota untuk pembangunan, tidak lain dan tidak bukan untuk tujuan pragmatis semata.

Belum lagi karena fungsi rasio yang semata-mata dipandang untuk menguasai ini membentuk setiap orang terdorong untuk saling menguasai satu sama lain. Itu sebabnya  konflik antar individu bahkan antar kelompok pun tidak pernah berkesudahan, dikarenakan rasio/nalar manusia telah direduksi sedemikian rupa dengan maksud dan tujuan agar dapat menguasai  dan mengeksploitasi.

Lalu apa saran dari horkheimer melihat kondisi ini? Ia mengingatkan kita untuk turut mengembalikan fungsi rasio. Horkheimer berpendapat bahwa sejatinya fungsi utama rasio/nalar manusia adalah untuk wawasan keselamatan dan pengembangan manusia. Rasio tidaklah semata-mata untuk menciptakan sarana dengan tujuan menguasai alam, tetapi hal itu dilakukan untuk menyelamatkan alam, mengembangkan alam dan demi untuk dirinya sendiri, bukan dieksploitasi. 

Alam harus dilihat berada pada dirinya sendiri, bukan sebaliknya sebagai objek yang sesuka hati dapat dipergunakan bahkan sampai dengan merusaknya. Ia berada pada dirinya sendiri, bukan untuk semata demi pemenuhan kebutuhan manusia. Alam juga bukan untuk sekedar dijaga demi diwariskan pada anak cucu manusia, namun menjaga alam adalah perwujudan fungsi rasio manusia yang sebenarnya. 

Pada akhirnya, zaman pencerahan ini tidak hanya dipuja-puja karena manusia sudah mampu menggunakan rasionya dengan maksimal. Namun, lebih dari itu, zaman ini bisa dianggap memasuki pencerahan ketika rasio manusia dipergunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan alam, mengembangkan potensi-potensi manusia, dan mencegah manusia untuk berperilaku eksploitatif baik pada alam maupun manusia. Alam jaga kita. Kita jaga Alam. 

Referensi:

Max Horkheimer. (1947). Eclipse of Reason. Oxford University Press.
James Schmit. (2007). The Eclipse of Reason and the End of The Frankfurt School in America. Boston University.
Eli Vagner Rodrigues. (2015). The Critique of Reason in human and natural sciences on the Eclipse of Reason by Max Horkheimer.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 1 =