Penulis: T.H. Hari Sucahyo
Editor: Qonyta
Kita hidup di sebuah persimpangan peradaban. Dunia ini seperti sedang berputar terlalu cepat, sementara kita, manusia, berdiri di pusaran ketidakpastian. Di satu sisi, kita berada dalam kecepatan ekstrem dari perkembangan teknologi, kapitalisme global, dan ambisi politik; di sisi lain, kita menyaksikan runtuhnya makna, hilangnya orientasi, dan kaburnya batas-batas nilai. Apa yang seharusnya dilakukan suatu budaya ketika berhadapan dengan masalah besar yang tak dapat dipecahkan oleh pola pikir lama? Haruskah kita terus maju tanpa peduli, membiarkan arus modernitas membawa kita ke mana pun ia mengalir? Atau, justru mundur untuk merangkul kembali kearifan masa lalu, sebuah kebangkitan arkais sebagaimana pernah dibayangkan oleh Terence McKenna? Pertanyaan ini menjadi semakin penting ketika kita menyadari bahwa umat manusia saat ini tengah berada di apa yang disebut McKenna sebagai “ruang liminal”, sebuah kondisi transisional di mana mitologi lama telah runtuh, tetapi mitologi baru belum lahir sepenuhnya.
Kita berosilasi di antara banyak narasi, berpindah dari satu keyakinan ke keyakinan lainnya, dari satu ideologi ke ideologi berikutnya, seolah-olah sedang menyeberangi jembatan tipis yang menggantung di antara dua tebing sejarah. Di sinilah paradoks terbesar kita: kita merasa bebas memilih arah, tetapi juga merasa kehilangan pegangan tentang apa yang sebenarnya nyata. Dalam psikologi, ruang liminal adalah titik ambang di mana identitas lama sudah tidak berlaku, tetapi identitas baru belum sepenuhnya terbentuk. Kita dapat merasakannya dalam banyak dimensi kehidupan: antara masa kanak-kanak dan kedewasaan, antara kepercayaan lama dan paradigma baru. “Liminalitas adalah kondisi ambang, sebuah jeda transformatif di mana struktur lama tidak lagi menahan kita, dan struktur baru belum memberikan bentuk,”. Ini adalah ruang kosong, dan justru karena kosong itulah ia menakutkan sekaligus menjanjikan. Pertanyaannya adalah: bagaimana seharusnya kita bersikap di dalam ruang kosong ini? Apakah kita harus memeluk kekosongan itu sebagai peluang untuk mencipta ulang diri dan budaya kita, ataukah kita justru perlu menengok kembali ke masa lalu, mencari jejak-jejak kearifan yang pernah hilang?
Terence McKenna, seorang etnobotanis, filsuf psikedelik, dan pemikir radikal, memberikan jawaban yang mengejutkan: “Ketika sebuah budaya mencapai jalan buntu, saat masa depannya tampak gelap, ia perlu melompat kembali ke masa lalu untuk menemukan bentuk baru yang menyelamatkan”. Ia menyebut proses ini sebagai Kebangkitan Arkais (Archaic Revival). Bagi McKenna, masa lalu bukanlah penjara; justru di dalamnya terkandung potensi pembebasan. Ia percaya bahwa pada zaman prasejarah, sebelum lahirnya negara, agama dogmatis, dan industrialisasi, manusia hidup dalam keseimbangan dengan alam, kesadaran, dan mitos kolektif. Bukan berarti kita harus kembali secara literal ke kehidupan primitif, melainkan kita perlu merevitalisasi kearifan yang pernah ada: kesadaran kolektif, koneksi mendalam dengan bumi, dan pemaknaan spiritual terhadap eksistensi.
“Kita bukanlah makhluk modern yang menginginkan masa lalu,” kata McKenna, “kita adalah makhluk arkais yang mengalami gangguan amnesia sejarah”. Pernyataan ini membuka pertanyaan besar tentang arah kebudayaan. Jika benar manusia adalah makhluk arkais yang terperangkap dalam mitos modernitas, maka kemajuan teknologi, meskipun membawa kenyamanan material, justru menjerat kita semakin jauh dari keseimbangan eksistensial. Kita membangun kota-kota raksasa, sistem ekonomi global, dan jaringan komunikasi tanpa batas, tetapi di saat yang sama kita kehilangan keterhubungan dengan makna terdalam dalam kehidupan. Kesehatan mental runtuh, kesepian meningkat, dan spiritualitas tergantikan oleh komodifikasi pengalaman. Kita berlari semakin cepat, tetapi menuju arah yang semakin kabur.
Inilah sebabnya McKenna memandang ruang liminal sebagai tempat di mana masa lalu dan masa depan harus bertemu. Ia membayangkan transisi budaya sebagai spiral, bukan garis lurus. Setiap kali kita mencapai titik krisis, kita dipaksa untuk melihat ke belakang, bukan untuk mundur, tetapi untuk menemukan bahan bakar bagi lompatan baru. “Sejarah adalah eksperimen alkimia,” katanya, “dan sekarang kita sedang mendekati titik sublimasi”. Bagaimana caranya? Apakah kebangkitan arkais berarti meninggalkan seluruh teknologi modern dan kembali hidup seperti manusia purba? Tidak sesederhana itu. Sebaliknya, McKenna membayangkan integrasi yang subtil: sebuah sintesis antara pengetahuan kuno dan potensi teknologi modern. Misalnya, teknologi realitas virtual dan kecerdasan buatan dapat dipakai bukan untuk memperbudak kesadaran, melainkan untuk memperluasnya.
Tradisi spiritual dan ritual kuno dapat digali kembali bukan sebagai dogma, tetapi sebagai peta psikologis yang membantu kita menavigasi ruang batin. Sementara itu, seni, mitos, dan musik yang dulunya menjadi pusat pengalaman kolektif dapat menjadi jembatan antara kesadaran individu dan kesadaran kosmik. McKenna juga memberi peringatan: modernitas yang hanya memuja kemajuan tanpa refleksi akan mengantar kita pada kehancuran ekologis dan spiritual. “Kita hidup di sebuah budaya yang memuja materi, tetapi melupakan roh,” ujarnya. Pandangan ini terasa semakin relevan ketika kita melihat krisis iklim, kepunahan spesies, dan konflik global yang kian tak terkendali. Dalam konteks ini, kebangkitan arkais bukanlah sekadar pilihan, melainkan kemungkinan satu-satunya jalan keluar. Kita perlu kembali belajar dari tradisi-tradisi kuno yang memandang bumi bukan sebagai sumber daya, melainkan sebagai entitas hidup yang sakral.
Kita perlu menghidupkan kembali mitos bukan untuk melarikan diri dari realitas, tetapi untuk menemukan makna di tengah absurditas sejarah. Ruang liminal yang kita tempati saat ini menuntut keberanian eksistensial. Kita berada di wilayah tak pasti, sebuah titik di mana masa depan manusia benar-benar dipertaruhkan. “Di tepi kehancuran, potensi transendensi juga selalu hadir,” tulis McKenna. Artinya, ruang kosong ini sebenarnya bukanlah kekosongan mutlak; ia adalah ruang kelahiran kembali. Kelahiran baru ini mungkin jika kita berani melakukan dua hal sekaligus: memandang jauh ke belakang dan jauh ke depan. Melihat ke belakang berarti mengakui bahwa budaya modern bukanlah puncak evolusi, melainkan salah satu episode singkat dalam perjalanan panjang kesadaran manusia. Tradisi-tradisi arkais memiliki kearifan ekologis, spiritual, dan sosial yang dapat membantu kita mengatasi krisis kontemporer.
Ruang liminal mengajarkan kita satu hal penting: ketidakpastian bukanlah musuh, melainkan undangan. Dalam ketidakpastian, kita menemukan peluang untuk melampaui batas-batas lama dan menciptakan bentuk kehidupan baru. Terence McKenna mengajak kita untuk berani membayangkan masa depan di mana sains dan spiritualitas, teknologi dan mitos, akal dan imajinasi, semuanya bersatu dalam tarian kosmik kesadaran. “Alam semesta bukanlah mesin mati,” katanya, “ia adalah pikiran yang hidup, dan kita adalah bagian dari imajinasinya”. Maka, ketika kita bertanya apa yang seharusnya dilakukan budaya saat menghadapi masalah besar, jawabannya mungkin bukan memilih antara maju atau mundur. Jawabannya adalah menari di ruang liminal, merangkul ketidakpastian, dan menemukan kembali kearifan yang hilang. Kita harus menatap masa lalu bukan sebagai reruntuhan, tetapi sebagai reservoir makna, sekaligus memandang masa depan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kemungkinan tak terbatas. Kebangkitan arkais bukanlah nostalgia, melainkan revolusi kesadaran. Kita sedang berada di tepi perubahan besar. Pertanyaannya, apakah kita siap melompat?
Referensi
Campbell, J. (1949). The Hero with a Thousand Faces. Princeton University Press.
Eliade, M. (1959). The Sacred and the Profane: The Nature of Religion. Harcourt, Brace & World.
Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Harper.
McKenna, T. (1992). Food of the Gods: The Search for the Original Tree of Knowledge. Bantam Books.
McKenna, T. (1993). True Hallucinations: Being an Account of the Author’s Extraordinary Adventures in the Devil’s Paradise. HarperPerOne.
McKenna, T. (1999). The Archaic Revival. HarperSanFrancisco.
Turner, V. (1969). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Aldine Publishing.
Tsing, A. L. (2015). The Mushroom at the End of the World: On the Possibility of Life in Capitalist Ruins. Princeton University Press.
