Pengkajian mengenai posisi manusia dari berbagai aspek sosial muncul dari proses berpikir tentang “yang ada”. Pengkajian mengenai posisi tersebut sudah dimulai pada masa Yunani kuno hingga saat ini. Termasuk perspektif Zizek selanjutnya. Ada banyak konsep tentang manusia, misalnya animal rationale (makhluk yang berpikir), homo laborans (makhluk yang suka bekerja) dan lain sebagainya.
Sejatinya, subjek selalu mengarah pada individu manusia yang memiliki kesadaran yang tak luput dari dimensi sosialnya. Setiap individu tersebut tidak serta merta dapat dianggap sebagai subjek itu sendiri. Semakin individu dapat menguasai kehendak dirinya, semakin ia dianggap sebagai subjek otonom. Maksudnya, penguasaan tersebut sebagai penegasan individu sebagai subjek. Dalam hal ini, bagaimana sebenarnya posisi subjek dalam kehidupan.
Dinamika Perkembangan Subjek Dunia
Sokrates dengan ungkapannya gnothi seauton kai meden agan (kenalilah dirimu sendiri dan jangan berlebihan) menjadi pengaruh dalam perkembangan posisi subjek dalam masyarakat. Setelahnya ada Rene Descartes dengan cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Dengan ini, Descartes mencoba memberi penjelasan mengenai subjek.
Memasuki abad pencerahan muncul Auguste Comte dan Herbert Spencer dengan pandangannya mengenai sosial order (keteraturan sosial) yang cenderung pada dunia ide. Emile Durkheim dengan pemikirannya mengenai fakta sosial hadir dalam upaya memisahkan filsafat positif Comte, karena Durkheim cenderung pada pemikiran spekulatif. Maksudnya, fakta sosial mengarah pada pemikiran empiris, sehingga dapat diukur dan dipastikan kebenarannya. Perbedaan pandangan kembali terjadi ketika Max Weber menjelaskan pemikirannya mengenai definisi sosial. Karena bagi Weber, posisi subjek adalah sebagai hal pembentuk realitas sosial, bukan realitas yang membentuk subjek sebagaimana Durkheim.
Kemudian setelahnya muncul Peter L. Berger yang berusaha menjembatani perdebatan antara mikro dan makro sosiologi. Menurutnya, antara individu (subjek) dan masyarakat memiliki causa reality (hubungan yang saling mempengaruhi). Perdebatan mengenai subjek terus berlangsung hingga mengalami stagnasi saat seorang ahli bahasa asal Swiss bernama Ferdinand de saussure menyatakan bahwa bahasa sebagai pengendali. Maksudnya realitas antara subjek dibentuk oleh bahasa.
Sebenarnya dalam bahasan sosiologi khusus bahasan mengenai subjek sejatinya memiliki tiga muatan utama. Pertama, subjek pencerahan sebagaimana cogito Descartes. Kedua, subjek sosiologis bahwa inti dari entitas subjek dibentuk berdasarkan kaitannya dengan individu lain yang berpengaruh. Ketiga, subjek pascamodern yang menyatakan bahwa individu sebagai kesatuan, bahwa individu terbentuk secara sosial. Beberapa hal lain juga dapat kita temukan dalam pemikiran strukturalis dan poststrukturalist yang menyatakkan bahwa subjek bukan suatu entitas universal yang tetap, akan tetapi hasil konstruksi struktur dan bahasa.
Dari berbagai hal ini, yang ingin dibahas adalah apakah masyarakat mempengaruhi serta menciptakan individu atau individu yang mempengaruhi masyarakat. Dalam hal ini muncul seorang filsuf yang mencetuskan pemikirannya mengenai redefinisi subjek. Pemikiran ini dicetuskan oleh pemikir paling kontemporer bernama Slavoj Zizek.
Biografi Slavoj Zizek
Slavoj Zizek lahir di Slovenia pada 21 Maret 1949. Ia adalah anak dari sebuah keluarga birokrat kelas menengah, dimana ayahnya Joze Zizek seorang ekonom dan pegawai negeri di Slovenia Timur dan ibunya Vesna sebagai akuntan perusahaan negara. Pada masa itu, pemerintahan di wilayahnya bersifat komunis liberal dengan Joseph Broz Tito (1892-1980) sebagai pemimpinnya. Masa perkembangan intelektual Zizek dimulai dengan peraturan yang sedikit membuka ruang bagi liberalisme yaitu tentang kewajiban perusahaan film untuk menyerahkan arsip film ke Universitas. Walaupun sebelumnya Zizek juga sering menonton film Hollywood dan seni Eropa di cinematheque.
Dalam menempuh studinya jenjang sekolah dasar hingga Universitas milik pemerintahan komunis Slovenia, Ia juga memperdalam ketertarikannya pada pemikiran Jacques Lacan, Jacques derrida serta berbagai pemikir lain khususnya kerangka pemikiran individu dan sosial-Marxis. Ketertarikan ini diperdalam saat Ia mendapat kesempatan ke Prancis dan bertemu dengan Jacques Alain Miller yang merupakan pewaris pemikiran Louis Althusser dan sekaligus menantu Lacan.
Zizek telah melahirkan banyak buku, salah satu bukunya yang cukup revolusioner adalah The Sublime Object Of Ideology (1989) yang sangat monumental dengan pengukuhan dirinya sebagai filsuf yang patut diperhitungkan. Hal lain yang dimiliki Zizek adalah kemampuan menuangkan pemikirannya dalam film. Film tersebut antara lain, Zizek! (2005), The Pervert’s Guide To Cinema (2006) dan The Pervert’s Guide To Ideology (2012). Selain itu, Ia juga terkenal dengan berbagai pendapat yang kontroversial dan provokatif. Sehingga dengan berbagai hal ini ia mencoba menjelaskan tentang “Redefinisi Subjek” dalam kerangka pemikirannya.
Redefinisi Subjek Ala Zizek
Apabila kita mendalami perkembangan subjek di dunia, kita akan menemukan bahwa subjek Zizek termasuk pada paradigma definisi sosial yang menekan makna subjektif dan potensi tindakannya. Hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan pandangan Weber mengenai individu sebagai bagian dari masyarakat sekaligus menjadikannya sebagai pengisi ruang dalam hal yang lebih luas. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan diantara keduanya. Misalnya tentang tindakan sosial menurut Zizek bukan hanya dimaknai sebagai proses terjadinya interaksi sosial, akan tetapi juga ditujukan pada kemampuan subjek dalam melampaui simbolik (apa yang ada pada diri dan lingkungannya) lamanya, sekaligus merubah struktur sosial berkaitan dengan tujuan subjek sosial.
Subjek Zizek yang berangkat dari cogito Descartes yang menjadikan “aku” sebagai pusat kehidupan. Di samping itu, Zizek juga menyandarkan basis epistemologinya pada subjek pencerahan ala Kant, negativitas Hegel dan dialektika Marx yang diupayakan hidup dengan menggunakan Triad Lacanian. Sehingga dalam hal ini, subjek bagi Zizek adalah kekosongan yang melawan subjektivitas dengan jalan melampaui atau bahkan melampaui simbolik lainnya.
Dari segi kebermanfaatan subjek, Zizek menggunakan subjek ideologis Althusser, subjek diskursif Laclau-Mouffe dan subjek setia Badiou sebagai upaya optimalisasi kebermanfaatan subjek. Dalam hal ini diarahkan pada adanya tindakan lebih dari subjek terhadap individunya. Hal ini sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa bagaimana seorang individu mampu melampaui hal simbolik lamanya serta bagaimana merubah struktur sosialnya.
Akhirnya redefinisi subjek Zizek melahirkan dua karakter subjek itu sendiri. Pertama, subjek yang menekankan pada tindakan untuk mendorong interaksi yang luas dan tak terbatas. Kedua, subjek bukan hanya memandang diri sebagai kekosongan, melainkan turut melihat peristiwa sebagai kekosongan yang harus didahulukan dengan potensi tindakan. Sehingga, dapat kita simpulkan bahwa subjek Zizek tak hanya berfokus pada pembentukan nilai dan fungsi bagi dirinya sendiri. Akan tetapi juga bagi yang lain secara luas dan tak terbatas.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.