Etimologi Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, “tashowwafa- yatashowwafa- tashowwuf yang bermakna (menjadi) berbulu banyak; dinisbahkan kepada pakaian para ahli ibadah yang mendeskripsikan kesederhanaan mereka. Abul Afifi dalam karyanya berjudul “Fi al-Tashawwuf al-Islam wa Tarikhikhi” menjelaskan pemaknaan tasawuf juga dapat ditinjau melalui kata al-shuffah yang berarti penamaan yang diberikan kepada para zahid (orang yang meninggalkan kehidupan dunia) yang menetap di serambi masjid Nabi Saw.
Sedangkan, menurut Alwan Khoiri dalam “Akhlak/ Tasawuf” menjelaskan bahwa pemaknaan tasawuf dapat dikaji melalui kata shofi yang bermakna orang-orang yang mensucikan dirinya dari perkara duniawi. Penyucian diri dari perkara duniawi dihiasi dengan berbagai macam aktivitas ibadah dan penghambaan dalam rangka membersihkan hati yang dipandang sebagai simbol ruang mendekatkan diri kepada Tuhan di realitas. Dalam peninjauan bahasa lainnya, kata ini diambil dari bahasa Yunani, sophia yang berarti hikmah yang dipandang tindak penyucian diri para sufi selaras dengan penawaran teoritis dan praktis para filsuf Yunani kuno.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata ini dalam tinjauan bahasa bermakna aktivitas beribadah, penghambaan, dan penyucian diri yang diterapkan dalam kehidupan sederhana dan menghindari kenikmatan dunia dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan di realitas. Badrudin dalam “Pengantar Ilmu Tasawuf” menjelaskan bahwa hakikat utama tasawuf, ialah menyucikan diri manusia dari berbagai dosa dan perilaku buruk di realitas. Penyucian diri juga berarti penghambaan dan peribadahan yang dilakukan seorang hamba untuk mendekati Eksistensi Agung.
Terminologi Tasawuf
Sedangkan, Amin Kurdi memandang bahwa tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang membahas proses penyucian manusia dari berbagai perilaku; baik dan buruk, dan paradigma; benar dan salah untuk mengetahui cara atau metode penyempurnaan diri. Adapun, Abu Nata memaparkan bahwa tasawuf dari berbagai sudut pandangan dan pengalaman sufi mendeskripsikan pengetahuan melatih jiwa manusia yang dipandang sebagai kendaraan baginya mendekati keberadaan Tuhan. Abdul Qadir Al-Suhrawardi, dikutip dalam “Buku Saku Tasawuf” menjelaskan bahwa ada seribu pemaknaan yang intinya menjelaskan 3 perkara: shafā’ (suci), wara’ (kehati-hatian untuk menghindari perilaku yang menyimpang dari ajaran agama), dan ma’rifat (pengetahuan mengenai hakikat objek persepsi).
Secara fundamen, 3 perkara di atas berusaha menjelaskan kesucian eksistensi manusia, dalam hal ini jiwa, yang dilakukan secara praktis, wara’ dan teoritis, ma’rifat. “Demi nafs dan penyempurna (penciptaan)-Nya …. Telah berjayalah orang-orang yang menyucikannya. Dan telah gagal orang-orang yang mengotorinya.” (Qs. al-Syams [91]: 7-10). Berdasarkan ragam penelaah dan pemikiran para pengkaji ilmu tasawuf, dapat diketahui bahwa, baik pemaknaan istilah maupun bahasa merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas penyucian diri, jiwa, manusia yang ditelaah secara teoritis maupun praktis sebagai bentuk penghambaan dan peribadahan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya.
Ruang Lingkup Tasawuf
Badrudin menjelaskan sedikitnya ada 4 ruang lingkup diskursus tasawuf, meliputi:
1. Metafisika, membahas perkara-perkara yang melampui ruang materi atau dunia. Metafisika dalam kajian filsafat dan tasawuf memiliki berbagai ruang pembahasan yang sejalan, seperti pembahasan perjalanan jiwa individu, pancaran sinar pengetahuan yang memantul dalam diri manusia, dan masalah sumber eksistensi realitas.
2. Etika, mendiskusikan permasalahan baik dan buruk dalam tindakan atau perilaku manusia berdasarkan ajaran-ajaran akhlak yang bersumber pada hadits dan Alquran.
3. Psikologi, berhubungan dengan jiwa yang berfokus pada kesadaran manusia terhadap kekurangan dan kelemahan dirinya dalam mencapai rida Allah SWT.
4. Estetika, berkaitan dengan keindahan dalam menikmati berbagai proses ketakwaan, peribadahan, dan penghambaan individu kepada Tuhan. Ibadah yang dibangun berdasarkan kenikmatan akan membangun tingkat fokus dan kecintaan individu untuk meningkatkan ketakwaannya yang dipandang sebagai keindahan di hadapan Sang Pencipta.
Tujuan Pembahasan Tasawuf
Secara definisi dan ruang lingkup pembahasan tasawuf, diketahui bahwa substansi atau inti utama kajiannya, ialah penyucian diri manusia dengan menerapkan perilaku zuhud atau meninggalkan berbagai kepuasan duniawi dan berfokus pada penghambaan dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Berdasarkan penjelasan tersebut, dipahami bahwa tujuan utama tasawuf adalah menyadarkan manusia terhadap hakikat keberadaan dan kenikmatan transendental. Kenikmatan transendental berarti tidak sebatas ditinjau dari kepuasan tubuh dan jasmani yang mendeskripsikan kenikmatan parsial. Sebalik, kenikmatan transendental, ialah mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak berdasarkan kebahagiaan yang memantik hakikat kesejahteraan yang bersifat holistik. Selain, memantik kesadaran dan perilaku manusia, pembahasan ini juga memiliki beberapa tujuan lainnya, antara lain:
1. Melepaskan manusia dari penyakit hati (takhalli).
2. Menghiasi diri, jiwa, manusia dari berbagai perilaku terpuji dan pola pikir yang benar (tahalli).
3. Mengaktualkan pola pikir yang benar dan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari (tajalli).
4. Memahami cara dan proses menyucikan diri berdasarkan pengalaman dan pemikiran para sufi.
5. Berdiskusi dengan ragam teori dan pemikiran ulama mengenai keberadaan yang otentik di realitas.
Editor: Ahmed Zaranggi
Sumber Rujukan:
Badruddin. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: A-Empat: 2015.
Haidar Bagir. Buku Saku Tasawuf. Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005.
Muhammad Hafiun. “Teori Asal Usul Tasawuf”. Jurnal Dakwah, Vol. XIII, No. 2 (2012).
Muhammad Sholikhin. Tradisi Sufi dari Nabi. Cakrawala: Yogyakarta, 2009.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.