PPIDK TIMTENGKA bekerja sama dengan Zona Nalar menggelar rangkaian kedua dari Madrasah Puskaji pada 19 April 2022. Kajian Isu Kontemporer kedua ini mengusung tema “Korelasi antara Sistem Pendidikan Islam di Timur dan Barat”. Adapun narasumber pada kajian ini adalah K.H. Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lembaga Kajian & Pengembangan SDM PBNU 2022-2027.
Acara diawali dengan pembacaan basmallah, serta pemutaran lagu Indonesia Raya dan Mars PPI Dunia. Mengenai prinsip dasar yang melatarbelakangi kegiatan ini bahwa “kekosongan itu perlu diisi”, terutama dengan program pendidikan yang bermanfaat selama Ramadhan. Peserta yang mengikuti Kelas Penulisan Karya Ilmiah sekitar 45 orang dari berbagai kalangan.
Kegiatan ini dibuka dengan Opening Speech dari Hasan Rusydi Tanthawi selaku Deputi I Bidang Pendidikan Puskaji PPIDK TIMTENGKA (2021-2022) yang menyambut hangat kehadiran narasumber dan para peserta. Perihal Host yang memandu jalannya kegiatan ialah Arfilia Rakhmawati selaku Staf Dep. Pusat Kajian & Literasi, PPIDK TIMTENGKA.
Selain itu, moderator pada kajian siang hari ini adalah M. Dharma Setiadi dari PPI Tunisia. Sebelum diserahkan kepada narasumber, Dharma mengulas tentang pendidikan di dunia Islam dan dunia Barat agar peserta mendapatkan gambaran tentang tema kajian ini. Akan halnya poin-poin pembahasan yang diharapkan akan dibahas oleh narasumber antara lain: gambaran dan sejarah pendidikan Islam dan dunia Barat, perbandingan antara pendidikan di dunia Islam dan Barat, kemungkinan relasi antara keduanya, dan peran keduanya.
Pengaruh Pendidikan di Dunia Islam terhadap Barat
Dalam kajian ini, Gus Ulil membahas tiga poin penting terkait dengan tema yang diusung, yaitu karakter/corak pendidikan di dunia Islam, pendidikan di dunia Barat, dan bagaimana kemungkinan melihat hubungan/dialog dalam dua pendidikan Islam dan Barat. Pada awalnya, ia mengutip sejarah munculnya institusi pendidikan dari karya Prog. George Makdisi yang berjudul The Rise of College. Dalam buku tersebut dibahas secara historis bagaimana institusi pendidikan (madrasah/jami’ah/college) dalam dunia Islam memengaruhi dan menginspirasi sistem pendidikan di barat (universitas).
Menurut sosok yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren ini, institusi pendidikan di dunia Islam melalui evolusi yang panjang. Institusi madrasah mengalami pelembagaan secara mapan mulai pada masa Abbasiyyah (akhir abad ke-4 dan ke-5 H). Salah satu inisatif penting pertama kali, munculnya madrasah yang diusung kerajaan Seljuk [keluarga Seljuk] di Khorasan. Tepatnya pada masa hidup Imam Haramain (gurunya al-Ghazali). Pada saat itu, madrasah Nizhamiyah (Nizham al-Mulk) merupakan institusi pendidikan utama yang mengonsolidasi politik akidah Asy’ariyyah.
Kemudian, berkat pengaruh madrasah Nizhamiyah, muncul madrasah serupa di Baghdad, dan di negara lainnya. Madrasah didirikan untuk memperkuat legitimasi keagamaan kerajaan Saljuk karena pengaruh ideologi sangat dinamis [dari mazhab Mu’tazilah, Ahl Sunnah wal Jama’ah, dan Ahl Hadits], sehingga penguasa ingin mazhab yang dianutnya lebih kuat. Selain itu, madrasah menjadi institusi yang melegitimasi kekuasaan karena pada masa Bani Abbasiyyah ada kekuasaan lain yang kuat di bagian utara, yaitu Bani Fathimiyyah, Kairo (Syiah Ismailiyyah). Tentang hal ideologi baru madrasah Nizhamiyah, yaitu fiqh Hanafi dan Syafi’i, serta akidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Madrasah Nizhamiyah merupakan institusi pendidikan pertama yang melakukan sistematisasi dan membuat kurikulum. Dalam institusi tersebut ada dua unsur penting, al-‘ulum al-‘aqliyyah (ilmu manthiqiyyah, ilahiyyat, thabi’iyyat, siyasiyat, dan ilmu lainnya yang masuk ke dalam cabang ilmu filsafat) dan al-‘ulum al-naqliyyah. Dalam konteks kekinian menjadi pendidikan agama dan pendidikan umum. Adapun ciri penting corak pendidikan dalam madrasah adalah dominasi fiqh (hukum Islam) dan ilmu kalam (teologi).
Ambil Keunggulan di Barat, tetapi Basisnya tetap Tradisi
Pendidikan di Barat tak terlepas dari pengaruh agamawan yang menguasai gereja. Pada masa abad pertengahan, di dunia Barat berkembang ilmu filsafat. Menurut laki-laki yang pernah menempuh pendidikan S2 di University of Boston, Amerika Serikat, filsafat pada masa itu merupakan pengabdi teologi. Sehingga pendidikan dipengaruhi oleh doktrin gereja. Sebagaimana pernyataan filsuf dan teolog Kristiani St. Thomas Aquinas: “Firman Tuhan membutuhkan akal untuk menjelaskannya.”
Namun, dunia Kristen di Barat mengalami perubahan signifikan pada Abad pencerahan (Enlighten Era). Pada masa itu, pendidikan rasional harus dibebaskan dari teologi. Gerakan ini dinamakan “Gerakan Sekularisasi”, yaitu pemisahan otoritas gereja dan hal-hal keduniaan. Sehingga, pada sekitar abad 19-20, pendidikan di dunia barat mengalami sekularisasi total yang terlepas dari kekuasaan atau pengaruh gereja.
Adapun ciri-ciri pendidikan di Barat, yaitu pendidikan/ pengetahuan diselenggarakan sebagai “Secular Endauvor/Enterprise” yang mana pengetahuan diperlakukan sebagai data ilmiah/ data sosial (objektif). Misalnya, Islamic Studies di Barat merupakan studi yang berkembang pesat bukan sebagai data iman. Selain itu, pendidikan di Barat memiliki karakter “Sekular Holistik”.
Adapun keuntungan belajar di Barat adalah mereka studi tanpa beban secara objektif. Cendekiawan NU tersebut mengakui sangat mengapresiasi bahwa setiap bulan terbit buku yang inovatif dan progresif mengenai Islam. Sementara itu, solusi atau inovasi yang ditawarkan Gus Ulil bagi pembangunan peradaban Islam dengan menggunakan paradigma Ghazalian. Menurutnya, kita bisa mengambil ilmu di Barat, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, tetapi majikannya tetap paradigma pengetahuan Islam.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Pada penghujung acara, terdapat sesi tanya-jawab yang berlangsung interaktif antara peserta dan para narasumber. Terdapat pertanyaan dari Nurul Khair, “bukankah sistem pendidikan Islam sudah ada jauh sebelum Dinasti Saljuk?” Ia merujuk pada buku “The Greatest Buwaihid” karya Philiph K. Kitty yang menyebutkan perkembangan beberapa majelis keilmuwan di masa Buhaiwi, salah satu kerajaan yang juga menguasai Dinasti Abbasiyah, bahkan jauh sebelum masa kekuasaan Seljuk.
Menurut Gus Ulil, Daulah Bauhiyyah adalah dinasti yang dipimpin oleh keluarga Bauhiyyah yang bermazhab fiqh Itsna Asyariyyah. Namun, mereka tidak mau menonjolkan ideologi dalam sistem pemerintahan. Pada masa itu, perkembangan ilmu aqliyyah dan naqliyyah sangat berkembang, pelakunya tidak hanya ulama Syi’ah tetapi juga Sunni. Dinasti Bauhiyyah dianggap sebagai era pencerahan menurut sarjana Barat. Namun, madrasah sebagai sistem muncul pada masa dinasti Saljuk. Nah, sistem dan kurikulum pendidikan yang berkembang di Barat, terpengaruh dari institusi pendidikan pada masa Bani Saljuk.
Sementara itu, moderator bertanya “Mengapa lulusan Barat tidak terjun ke masyarakat (akademisi), tidak sebagaimana lulusan Timur Tengah?” Menurut Gus Ulil, lulusan Barat diarahkan mencetak pendidikan dalam struktur masyarakat modern, misalnya mengisi birokrasi. Dalam artian, pendidikan modern tidak mencetak lulusan yang berbaur dengan masyarakat. Sementara itu, pesantren menciptakan orang-orang yang dapat berkiprah atau melayani masyarakat. Keunggulan pendidikan pesantren memang menciptakan intelektual yang dapat berbaur dengan masyarakat (intelektual organik).
Gus Ulil mengakui bahwa pendidikan modern/Barat menjanjikan kesuksesan material yang lebih menarik. Namun, kita perlu mengingat al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin (bagian kitab Ilmu) mengatakan bahwa ilmu adalah ibadah al-Qalb (ibadah rohani/jiwa manusia). Ibadah batin harus didahului dengan wudhu, yaitu dengan menghadapkan tindakan kita kepada Allah semata. Ilmu bila tidak dilakukan dengan wudhu’, maka menjadi batal. Wudhu dilakukan dengan membersihkan diri dari pamrih, bukan semata kesuksesan duniawi) agar tidak menjadi ulama yang buruk; ulama yang menjadikan ilmu sebagai sarana untuk kesuksesan finansial dan status sosial. Ini yang menjadi kritik al-Ghazali terhadap pendidikan modern yang membangun instrumentalisasi pengetahuan untuk tujuan duniawi.
Pertanyaan selajutnya, datang dari Mala Hasyimi mahasiswi Indonesia di Sudan. Ia bertanya “Bagaimana orang-orang yang dominan terhadap teks (skriptulis-tekstualis)?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, Gus Ulil menegaskan agar kita mempelajari sejarah pendidikan tradisional karena tradisi harus dikembangan sesuai dengan konteks. Memang ulama-ulama terdahulu ada juga yang skripturalis (teks tanpa telaah kontekstual). Saya tidak setuju terhadap tekstualis, tetapi saya menghargai perbedaan, ujar Gus Ulil. Namun, bagi beliau penting kita mempelajari ilmu kalam guna menunjang keberagamaan sebagai Muslim.
Pada masa lalu, terdapat ulama yang sekaligus teolog, ilmuwan, dan lainnya. Misalnya, Fakhruddin Ar-Razi seorang teolog dan filsuf yang juga menulis tentang Fisika tradisional; misalnya membahas mengenai permukan dua dimensi, materi, waktu, garis. Para ulama atau ahli kalam meyakini ilmu kalam yang rasional sebagai ilmu mulia? Namun, para fuqaha menganggap teologi atau ilmu kalam dianggap tidak diajarkan kanjeng Nabi; jika ini ilmu yang baik, pasti akan dipelajari oleh sahabat.
Menariknya, jawaban Imam Asy’ari (pendiri aliran kalam Asy’ariyah) terkait pertentangan tersebut. Jika argumentasinya bahwa ilmu fiqh, tafsir, nahwu, dan sharaf tidak ada pada zaman sahabat. Menurutnya, teks seyogyanya ditelaah secara kontekstual dan berkembang berdasarkan kaidah rasional, misalnya Ilmu Maqashid. Selain itu, integrasi ilmu pengetahuan yang dilakukan Prof. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Akan halnya kesimpulan kajian hari ini, yaitu epistemologi pendidikan Islam yang fondasinya adalah penggabungan/ittishol antara al-ulum an-naqliyah dan al-ulum al-aqliyah. Selain itu, kita bisa belajar pendidikan Barat/modern, tetapi majikannya tetap pendidikan dalam tradisi Islam. Kajian Puskaji II ini diikuti antusias oleh sekitar 45 peserta dari berbagai kalangan. []
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.