Penulis: Akhmad Fawzi

Editor: Wa Ode Zainab Zilullah T.

Pesan utama yang disodorkan oleh Al-Qur’an adalah membaca. Menurut Quraish Shihab, “membaca” memiliki makna luas, antara lain kegiatan memahami, memikirkan, merenungkan, menganalisis, mempelajari, mengamati, dan sebagainya. Semua kegiatan tersebut identik dengan dunia pendidikan. Dengan kata lain, pesan utama sekaligus pertama yang dibawa oleh Al-Qur’an adalah pesan pendidikan.

Adapun tujuan adanya pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara, adalah mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Namun, faktanya, dunia pendidikan, terutama di Indonesia, sering mengalami kasus pelanggaran kemanusiaan, seperti murid membacok sesama murid, penganiayaan terhadap sesama murid, dan tindakan bullying. Mengapa ini bisa terjadi? Tulisan ini berupaya merefleksikan kembali tujuan hakiki dari sebuah pendidikan.

Tujuan Pendidikan Menurut Filsuf Islam

Seyyed Hossein Nasr dalam karyanya Traditional Islam in the Modern World menyebut setidaknya ada empat filsuf Muslim yang berbicara mengenai pendidikan, seperti Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina, Suhrawardi al-Maqtul, dan Mulla Sadra. Bagi Ikhwan al-Shafa, tujuan pendidikan adalah mengaktualisasikan seluruh potensi yang terdapat dalam diri manusia; potensi yang dimaksud adalah jiwa, tubuh, dan pikiran.

Pendidikan harus mampu mewadahi pengejawantahan seluruh potensi tersebut untuk dipersiapkan mencapai kesempurnaan di alam immateri. Caranya adalah dengan memberikan pendidikan sesuai tingkat perkembangan anak. Anak usia 4-15 tahun diberikan pengajaran menulis, membaca, menghitung, dan lain sebagainya. Barulah dari usia 15 ke atas, diberikan pengajaran yang lebih mendayagunakan inteleknya melalui metode burhani (demonstrasi) dan ilham (inspirasi).

Hal ini bertujuan juga untuk kebahagiaan dalam hidup manusia karena orang tersebut telah menyempurnakan dan mewujudkan seluruh potensinya yang menuntun pada pengetahuan adanya realitas tertinggi, yaitu Tuhan.

Sementara itu, Ibnu Sina menyebut bahwa pendidikan seharusnya dimulai saat seorang manusia dilahirkan dari rahim ibu, bahkan dalam kandungan sekalipun sudah seharusnya diberikan pendidikan berupa sikap moral dan intelek seorang ibu selama masa-masa kehamilan. Pandangan Ibnu Sina bukan berarti tanpa alasan. Menurut Walter Houston Clark, kebanyakan para psikolog berpandangan bahwa bayi yang baru lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang keadaan manusia (W.H. Clark, 1964: 3).

Atas alasan itu, bayi harus diberi pendidikan sejak ia lahir bahkan masih dalam kandungan. Sejalan dengan Ikhwan al-Shafa, Ibnu Sina berpandangan bahwa tujuan pendidikan adalah pengaktualisasian fakultas (daya) intelek teoritis dan praktis. Intelek teoritis meliputi tingkat-tingkat intelek material, intelek en habitus, intelek dalam tindakan, dan intelek mustafad. Sementara intelek praktis melibatkan daya vegetatif hewani.

Jadi, baginya manusia, jika ingin sempurna, ia harus mewujudkan seluruh intelek teoritis dan praktis sesuai kondisinya. Caranya, seorang guru pemilik hikmah dan berpengetahuan luas, serta mampu memahami dan menghayati setiap karakter muridnya, juga mampu memberi masukan dan nasihat hikmah kepadanya. Seorang guru tidak boleh terlalu keras, tapi juga jangan terlalu lunak. Setiap pengajarannya harus disesuaikan dengan kemampuan setiap muridnya. Itu berarti, peran guru sangat sentral dalam mengaktualisasikan intelek teoritis dan praktis pada murid-muridnya.

Sedangkan bagi Suhrawardi, seluruh hidup diorientasikan dan ditujukan ke arah pencapaian pengetahuan tertinggi melalui pendidikan. Sebagai pendiri mazhab iluminasi, tujuan pendidikannya adalah tercapainya iluminasi, yang berarti mewujudkan seluruh fakultas dalam diri manusia, baik aspek lahir maupun aspek batin.

Dengan jalan pendidikan, manusia dapat mencapai iluminasi, yaitu mengalami kesatuan dengan Nur al-Anwar. Caranya, yang pertama, seorang murid harus mencari pengetahuan, setelah itu ia akan memasuki tahap pengembangan mental dan nalar. Barulah ia berada pada tahap pengendalian emosi dan penyucian jiwa, dan akhirnya ia mencapai iluminasi.

Selain itu, Mulla Sadra yang merupakan filsuf Hikmah Muta’aliyyah tidak jauh berbeda dengan pandangan filsuf Muslim sebelumnya. Tujuan pendidikan baginya adalah pengaktualisasian dan penyempurnaan fakultas teoritis dan praktis. Seluruh fakultas ini berorientasi pada pengetahuan tentang Tuhan, dan jika seseorang berhasil menyempurnakan seluruh fakultas dalam dirinya, ia akan memperoleh kebahagiaan. Sebab, orang tersebut telah menerima yang turun dari atas dan lalu bertindak atas yang ada di bawahnya berdasarkan apa yang telah ia peroleh dari atas. Dengan cara belajar, ia akan mengalami transformasi jiwa dari potensial menuju aktual.

Sebuah Tanggapan

Pendidikan Indonesia sedang dalam proses menerapkan Kurikulum Merdeka, di mana seorang murid diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi segala minat dan bakatnya. Ini sesuai dengan semangat Ki Hajar Dewantara dalam filosofinya “Tut Wuri Handayani,” yang berarti bahwa setiap anak didik diberikan kebebasan untuk menemukan dirinya, kecenderungannya, kesenangannya, dan bakatnya (Aris, 2023: 4).

Namun, masih ada pendidik yang bersikap feodal dan merasa paling benar, sehingga tidak mau menerima pendapat peserta didiknya, apalagi diajak untuk saling berdiskusi. Berdasarkan tinjauan tujuan pendidikan menurut para filsuf Muslim, seharusnya seorang guru bersikap sebagai fasilitator dalam upaya mengaktualisasikan seluruh potensi setiap anak didiknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Rabindranath Tagore, bahwa guru berperan sebagai fasilitator dengan cara membiarkan murid tumbuh dengan bakat dan potensinya masing-masing agar mencapai self-realization.

Tentu saja, sebagai fasilitator, guru harus mampu menghayati dan memahami setiap karakter anak didiknya. Dengan demikian, ia bisa mengarahkan dan memberi nasihat hikmah agar anak didik mengetahui jalan menuju kesempurnaan dirinya. Di samping itu, seorang guru juga harus memiliki pengetahuan yang luas, terutama pengetahuan hikmah. Mengapa? Agar, selain potensi praktikal, potensi inteleknya juga dapat berkembang. Saat guru mengajar satu disiplin ilmu, ia harus mengaitkannya dengan disiplin ilmu lain agar murid memiliki pemahaman dan khazanah ilmu yang universal.

Tak hanya itu, kurikulum pun cukup berpengaruh pada anak didik. Jika anak didik hanya diberikan pengetahuan yang terbatas pada agama saja, tentu ini akan membentuk karakter yang parsial. Oleh sebab itu, diperlukan kurikulum universal yang mencakup religion science, natural science, dan social science.

Bagi Seyyed Hossein Nasr, untuk dapat mengembangkan potensi intelek seorang murid, perlu juga memberikan pengajaran mengenai segala macam konflik yang terjadi pada sebuah disiplin keilmuan (Nasr, 1994: 217). Misalnya, pada filsafat Islam, terjadi perbedaan pemikiran antara Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dengan al-Biruni, Nashiruddin Thusi dengan Shadruddin al-Qunawi.

Hal ini bertujuan untuk memantik intelek anak didik memikirkan pengetahuan adanya Realitas Tertinggi. Nasr berpendapat bahwa untuk dapat mengaktualisasikan seluruh potensi pada diri anak didik melalui dua jalan: jalan hukum suci dan jalan kebijaksanaan. Hukum suci menjamin kebahagiaan manusia pada aspek potensi praktikal, sementara kebijaksanaan menjamin potensi intelek agar senantiasa mengarah pada pengetahuan yang lurus (Nasr, 1994: 229).

Referensi

Aris. Filsafat Pendidikan Islam. Yayasan Wiyata Bestari Samasta: Cirebon. 2023.

Clark, Walter Houston. The Psychology of Religion. Canada: The Macmillah. 1969.

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern. Pustaka: Bandung. 1994.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × 1 =