Published On
Categories

Secara historis, isu humanisme berkembang di masa renaissance dilatarbelakangi oleh kesadaran manusia terhadap nilai-nilai pribadi dan kekuatan individu dalam eksistensinya. Nilai-nilai dan kekuatan individu dalam eksistensi manusia merupakan substansi penting bagi manusia untuk mengembangkan potensi dirinya mencapai kesempurnaan dan kebahagian di realitas. Berdasarkan pemahaman terhadap urgensi nilai-nilai pribadi dan kekuatan individu dalam eksistensi manusia.

Para pemikir renaissance melakukan gerakan pembaharuan untuk menuntut sebuah pembebasan nilai-nilai pribadi dan kekuatan individu kepada kaum gerejawan dipandang telah memenjarakan eksistensi manusia melalui berbagai sistem dan aturan agama. Akibatnya, manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan dirinya di realitas. Implikasinya, manusia hidup dalam berbagai kesengsaraan.  

Para pemikir renaissance, seperti Rene Descartes dan Giordano Bruno berpandangan kekuatan individu dan nilai-nilai pribadi dapat mencapai tahap kesempurnaan melalui kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mendorong setiap individu untuk menyadari dan memahami seluruh potensi dirinya, sehingga mereka dapat mencapai kebahagiaan dan kesempurnaannya. Semakin bebas manusia untuk berpikir, semakin sempurna dan bahagia manusia di realitas. 

Kebebasan dalam pandangan pemikir renaissance didasari oleh kesadaran mereka terhadap dua eksistensi fundamen, yaitu eksistensi manusia berlandaskan rasionalitas dan dunia. Kesadaran eksistensi manusia berlandaskan rasionalitas, berarti menyadari nilai-nilai pribadi dan kekuatan individu dalam eksistensinya. Sedangkan, eksistensi dunia dalam kesadaran manusia mendeskripsikan keberadaan entitas lain yang mempunyai potensi di luar eksistensi manusia. 

Para pemikir barat menyusun dan merancang kerangka pemikiran mengenai kesadaran eksistensi sebagai gerakan pembaharuan untuk mengafirmasi potensi yang dimiliki oleh manusia, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaannya. Sikap afirmasi dilakukan para pemikir mempengaruhi paradigma manusia untuk melakukan perlawanan terhadap gerejawan dipandang telah mereduksi nilai dan kekuatan manusia melalui doktrin dan dogma agama. 

Akibatnya, manusia tidak dapat berpikir secara kritis berdasarkan nilai pribadi dan kekuatan individu. Contohnya: Manusia tidak dapat menyampaikan pandangan dan bertindak di luar sistem kaum gerejawan. Jika pikiran dan tindakan manusia tidak selaras dengan sistem gerejawan, maka pikiran dan tindakannya dipandang sebagai pemberontakan. 

Berdasarkan permasalahan di atas, para pemikir renaissance melakukan kajian dan telaah secara filosofis mengenai martabat, nilai, dan kekuatan manusia. Hasil dari telaah dan kajian martabat, nilai, dan kekuataan manusia ialah mengedepankan gagasan eksistensi manusia untuk menikmati kesenangan hidupnya di realitas. Ahli waris gagasan para pemikir renaissance ialah humanisme. Meskipun, diketahui bahwa berbagai literatur menjelaskan para pemikir reinassane menggunakan kata umanista-humanisme- untuk mengkaji nilai-nilai dan kekuatan dalam eksistensi manusia. 

Secara historis, diskursus umanista renaissance cenderung kepada masalah-masalah kualitas kehidupan individu. Setiap individu menginginkan kehidupan yang sejahtera dan bermakna. Para pemikir umanista, seperti Rene Descartes memandang masalah kualitas kehidupan berhubungan dengan masalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki urgensi terhadap nilai dan kekuatan pikiran manusia. Manusia harus mengkaji dan menelaah dunia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam aktualitas keberadaannya di realitas. 

Rene Descartes menggambarkan dunia sebagai masalah matematis yang sangat luas untuk dikaji melalui proses observasi nalar manusia di realitas. Observasi nalar manusia mengimplikasikan paradigma manusia untuk memisahkan sesuatu yang bersifat spiritual dan material di dunia. 

Pemisahan sesuatu yang bersifat spiritual dan material dalam pandangan Rene Descartes bertujuan untuk membangkitkan semangat manusia sebagai subjek dalam pengembangan potensi nalar melalui metode observasi terhadap dunia sebagai objek. Penawaran-penawaran Descartes mengimplikasikan peralihan ilmu pengetahuan yang tidak dipandang secara doktrinal dan dogmatis akan tetapi dipandang secara terukur, terinderai, dan sistematis. 

Pandangan Rene Descartes mengenai humanisme pun diperbaharui oleh para pemikir naturalisme bahwa entitas utama dalam eksistensi manusia adalah materi, sebagaimana Thomas Hobbes berpandangan bahwa manusia bukanlah makhluk rasional, akan tetapi manusia adalah makhluk mekanis. Thomas Hobbes menganalogikan seperti jam tangan yang bergerak dan bekerja keras secara bebas berdasarkan hasratnya. Hasrat merupakan daya penggerak manusia untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya di dunia.

Pandangan Thomas Hobbes memiliki keselarasan dengan kemunculan konsep humanisme abad renaissance bahwa masalah utama pemberontakan para pemikir terhadap kaum gereja adalah kebebasan eksistensi. Menurut Hobbes, kebebasan tertinggi adalah manusia dapat berkreasi secara bebas berdasarkan potensinya untuk mencapai sesuatu yang diinginkannya di dunia. 

Dunia merupakan objek yang harus dikaji secara terukur, sistematis, dan terinderawi. Sebab, ketiga komponen tersebut merupakan kreasi murni yang dapat dikaji dan ditelaah oleh manusia melalui kekuatan individunya. Pandangan Hobbes pun mengimplikasikan revolusi ilmu pengetahuan yang bergerak dari rasional manusia menuju pandangan materialis yang serba terukur, terinderawi, dan sistematis. Akibatnya, manusia memandang segala sesuatu berdasarkan nilai materi di realitas.   

Pandangan materialis Thomas Hobbes diperjelas oleh para filsuf materialis abad 19, seperti Karl Marx dan Ludwig Feuerbach memandang kesejatian manusia dapat dilihat melalui kesadaran materi. Kesadaran materi merupakan sesuatu yang mendasar bagi manusia mengaktualkan nilai pribadi dan kekuatan individu untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dalam eksistensinya. 

Manusia harus melepas segala belenggu dan ketertindasan eksistensinya melalui kesadaran materi. Dalam diskursus humanisme, pandangan para filsuf materialisme dapat diketahui bahwa materi merupakan sesuatu yang mendasar bagi kesempurnaan dan kebahagiaan manusia untuk mengaktualkan kekuatan dan nilai pribadi di realitas.

Akibatnya, konsep humanisme dalam paradigma barat meninggalkan aspek spiritual dalam diri manusia. Karl Marx mempertegas bahwa spiritual merupakan suatu ilusi yang tidak dapat diindera, tersistematis, dan terukur sehingga segala sesuatu yang dilandaskan oleh nilai spiritual tidak bermakna (meaningless)

Pandangan Marx dipengaruhi oleh Ludwig Feuerbach, seorang filsuf materialis Jerman memandang nilai-nilai spiritual sebagai sesuatu yang meaningless bagi kehidupan manusia. Sebab, spiritual tidak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia di realitas, sebagaimana doktrin gereja telah membatasi seluruh kekuatan dan potensi materi manusia. Akibatnya, manusia tidak dapat meningkatkan eksistensi dirinya. 

Adapun implikasinya, manusia hidup dalam berbagai keterbatasan yang menyebabkan manusia tidak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dirinya melalui aktualitas nilai pribadi dan kekuatan individu. Pandangan Ludwig Feuerbach menjelaskan bahwa kesejatian, kehormatan, nilai, dan kekuatan manusia tidak dapat aktual melalui aspek spiritual. 

Menurut Feuerbach, kesejatian, kehormatan, nilai, dan kekuatan manusia dapat dicapai melalui kesadaran materi sebagai esensi primer manusia untuk memahami eksistensi dirinya. Artinya, tanpa refleksi kesadaran materi manusia tidak dapat mengaktualkan seluruh potensi, nilai, dan kekuatan individu di dunia. 

Pandangan materialisme Karl Marx dan Feuerbach semakin mengarahkan nilai-nilai kemanusiaan pada ranah materialis dan meninggalkan  aspek spiritual dalam pandangan humanisme agama. Sebab, penawaran humanisme dalam agama dipandang telah memenjarakan, menghukumi, dan membatasi eksistensi manusia melalui satu eksistensi absolut disebut Tuhan. 

Implikasinya, konsep humanisme dalam pandangan barat sejak renaissance hingga modern bermuara kepada materialism yang tercermin dalam borjuis barat, kapitalis barat, liberalisasi sains, imperialis barat, dan marxisme timur (sebagaimana terjadi di Cina hingga sekarang). Pengaruh paradigma para filsuf barat modern telah menyebabkan theism menjadi lawan bagi humanisme.

Sehingga, humanisme pada abad pertengahan telah mengalami kehancuran dan ketertindasan akibat pengaruh gerejawan yang menempatkan eksistensi manusia melalui sistem ketuhanan yang menyebabkan dehumanisasi terhadap eksistensi manusia. Kehancuran eksistensi manusia semakin jelas di masa Karl Marx, ketika kehendak manusia dibatasi dan dipenjara oleh kaum gerejawan untuk memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan diri mereka. 

Menurut Karl Marx, praktik humanisme diterapkan oleh kaum agamawan merupakan kesalahan mendasar memahami hakikat eksistensi manusia. Karl Marx berpandangan bahwa humanisme dalam praktiknya bertujuan untuk meningkatkan eksistensi melalui kebebasan berkehendak sebagai nilai pokok manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan sebagai tujuan utama kehidupan di dunia. Secara riil, kebahagiaan dan kesempurnaan dapat dicapai melalui kesadaran materi. 

Sebaliknya, konsep humanis dalam pandangan teisme bersifat ilusi, sehingga pandangan mereka tidak memberikan kebahagiaan dan kesempurnaan secara nyata di dunia. Berdasarkan penjelasan Marx, diskursus humanisme dalam filsafat barat modern diarahkan pada nilai-nilai materialis dengan menawarkan kebebasan berkehendak dan kesadaran materi untuk mencapai kesempurnaan manusia secara mandiri tanpa bergantung terhadap sesuatu di luar dirinya. 

Semangat humanisme dalam filsafat materialisme Karl Marx telah membangun peradaban diskursus humanisme di dunia barat. Semangat Marx dan materialisme pun direpresentasikan oleh para filsuf eksistensialis barat abad 20-21, seperti Friedrich Nietzsche dan Jean Paul Sartre memandang bahwa nilai-nilai kemanusiaan, misalnya kebebasan dan kesempurnaan merupakan tujuan utama kehidupan manusia yang wajib dicapai untuk meningkatkan jati dirinya di dunia. 

Friedrich Nietzsche dalam karyanya berjudul Human All too Human menjelaskan kehendak bebas merupakan cita-cita bagi setiap manusia dalam hidupnya. Secara eksistensi, manusia dapat menentukan arah hidupnya untuk mencapai sebuah kesempurnaan dan kebahagiaan di realitas, sebagaimana tujuan pokoknya. Pandangan kebebasan manusia juga dipertegas Friedrich Nietzsche dalam karyanya Thus Spake Zarathustra bahwa manusia merindukan sebuah kebebasan dalam dirinya. Sebuah kebebasan akan mengantarkan manusia menuju kebenaran eksistensi.

Friedrich Nietzsche berusaha mendeskripsikan kebebasan manusia merupakan tujuan utama kehidupan manusia dengan melibatkan kekuatan berpikir dan bertindak. Penjelasan Friedrich Nietzsche pun dipertegas oleh Heidegger dalam karyanya Being and Time menjelaskan manusia memiliki struktur kualifikasi, yaitu ruang dan waktu. Setiap manusia memiliki struktur kualifikasi yang sama, baik nabi, penjahat, filsuf, dan ulama.

Akan tetapi, proses mengaktualkan struktur kualifikasi melalui berbagai kemungkinan merupakan sesuatu yang berbeda. Manusia harus membuka diri dan berinteraksi secara bebas bersama realitas. Manusia dapat mencapai kesempurnaan nilai-nilai kemanusiaan melalui kehendak bebas. Kehendak bebas mengimplikasikan kuatnya eksistensi manusia di realitas. Semakin manusia berkehendak secara bebas, semakin kuat eksistensi dirinya.

Pandangan Friedrich Nietzsche memiliki kesamaan dengan pandangan Jean Paul Sartre terkait konsep humanisme. Konsep humanisme Jean Paul Sartre dapat diketahui melalui teori eksistensinya. Jean Paul Sartre menjelaskan makna eksistensi ialah cara manusia berada di muka bumi dan landasan cara manusia berada ialah kesadaran untuk mendorong pemahaman manusia mengenai makna hidup (cara mereka berada) dan melepaskan diri dari kondisi yang memenjarakan eksistensi manusia (kuiditas).

Berdasarkan pandangan Jean Paul Sartre mengenai cara manusia berada dan kuiditas merupakan sebuah kritikan terhadap pandangan Descartes mengenai “Aku berpikir, maka aku ada”. Pandangan yang dibangun oleh Descartes telah mengabaikan eksistensi manusia dan mengutamakan kuiditas. Jean Paul Sartre berpandangan bahwa berpikir merupakan kuiditas manusia tidak dapat beraktivitas tanpa kehadiran eksistensi manusia di realitas. 

Manusia dapat menentukan cara berada melalui sebuah kesadaran. Kesadaran membantu manusia untuk meningkatkan eksistensi dirinya di realitas. Manusia dapat berkehendak, baik berpikir maupun bertindak berdasarkan kesadaran materinya. Semakin tinggi kesadaran materi manusia, semakin kuat eksistensinya di realitas. Implikasinya, manusia dapat berkehendak secara bebas berdasarkan eksistensi dirinya tanpa adanya pengaruh dari luar.   

 

Editor: Wa Ode Zainab ZT



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve − ten =