Meninjau Keburukan dalam Kehidupan Individu
Taliaferro dalam “Contemporary Philoshophy of Religion” menjelaskan kata keburukan dalam kehidupan manusia dapat ditinjau dalam 2 hal; keburukan moral dan natural. Keburukan moral, ialah tindakan yang dilakukan secara sadar untuk mencapai suatu tujuan di realitas. Seperti individu yang menyuruh orang lain menembak dan menghabisi nyawa seseorang. Sedangkan, keburukan natural adalah fenomena negatif yang menimpa masyarakat, baik dikarenakan kehendaknya maupun di luar tindakannya. Seperti sakit kanker yang diderita seseorang akibat mengisap rokok atau bencana alam yang menimpa sekelompok masyarakat.
Dalam realitas kehidupan individu, keburukan; natural maupun moral senantiasa dikaitkan dengan dosa sebagai pernyataan sikap. Dilakukan terhadap perilaku dan tindakan individu yang dipandang menyimpang dalam kepercayaan. Seperti pernyataan bahwa wabah Covid-19 merupakan azab yang diberikan Tuhan kepada orang-orang berdosa. Sehingga menyebabkan penderitaan bagi pelaku maupun orang-orang sekitar, jika ditinjau dari dampak wabah Covid-19. Tentu, berbagai permasalahan di atas memantik reaksi untuk menganalisis lebih jauh bahwa keburukan merupakan sebab untuk merealisasikan penderitaan sebagai akibat.
Charles Kimball dalam “When Religion becomes Evil” mempertanyakan bahwa jika keburukan telah terjadi dalam kehidupan individu, maka bagaimana dengan premis “Tuhan Yang Maha Baik”. “Apakah Tuhan tidak dapat menghapus keburukan di realitas?” Pertanyaan dan pernyataan Charles Kimball terhadap wacana keburukan membangun babak baru dalam pergulatan teologi dan filsafat barat modern untuk membaca lebih jauh perdebatan keburukan dalam peradaban ilmu pengetahuan.
Wacana Teodisi
Secara definisi, kata teodisi dapat dibagi dalam 2 susunan kata; theo bermakna Tuhan dan dike yang berarti keadilan. Philip Irving dalam “Theodicy an Overview” menyebutkan bahwa istilah teodisi dalam peradaban ilmu pengetahuan, pertama kali dipopulerkan oleh Gottfried Leibniz. Seorang filsuf berkebangsaan Jerman untuk membicarakan dan mendiskusikan permasalahan keadilan Tuhan yang dipandang baik dan berbagai keburukan yang terjadi dalam kehidupan individu. Sehingga dinilai tidak relevan. Jhon Hick dalam “Evil and God of Love” menjelaskan bahwa problem utama diskursus Teodisi sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempertanyakan eksistensi Tuhan Yang MahaBaik dengan meninjau berbagai permasalahan keburukan, kejahatan, dan penderitaan yang hadir dalam kehidupan individu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Teodisi sebagai cabang ilmu pengetahuan membahas dan mendiskusikan berbagai pandangan keagamaan yang menilai eksistensi Tuhan sebagai Keberadaan Yang MahaBaik yang dinilai tidak relevan dengan adanya keburukan, penderitaan, dan kejahatan di dunia.
Dalam peradaban Barat dan Islam, diketahui bahwa beberapa teolog maupun filsuf telah memberikan pandangan filosofisnya untuk membahas lebih jauh objek kajian teodisi. Seperti Epicurus, sebagaimana dikutip dalam karya Hasan Yusufian berjudul “Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama”, yang memandang bahwa peristiwa keburukan dan Maha Baik Tuhan harus ditinjau dari beberapa pertanyaan mendasar; “Mengapa kejahatan itu ada? “(1), “Apa hubungan kejahatan duniawi dengan Keberadaan Tuhan?” (2), “Apakah Tuhan tidak mampu mencegah berbagai kejahatan di dunia?” (3).
Teodisi dalam Peradaban Barat
Berdasarkan pandangan Epicurus, dapat diketahui bahwa perlunya pemaknaan lebih jauh mengenai kejahatan dan relasinya terhadap eksistensi Tuhan di realitas. Menurut Epicurus, Tuhan merupakan Sebab dari segala sebab yang tidak dibatasi oleh berbagai sistem dan pikiran manusia. Jika Tuhan dibatasi oleh sistem dan pikiran manusia, maka Tuhan memiliki batasan, sebagaimana mahluk-Nya, sehingga keberadaan Tuhan bersifat mutlak yang mengatur segala aturan dan sistem di realitas. Lebih lanjut, kejahatan merupakan sikap individu terhadap suatu peristiwa yang dipandang buruk oleh persepsi manusia. Epicurus menilai bahwa tidak semua kejahatan bernilai buruk dalam persepsi individu, seperti seseorang yang mencuri uang untuk menghidupi sekelompok masyarakat juga dipandang baik.
Pandangan Epicurus mengenai keburukan dan kejahatan telah memulai awal diskursus etika dalam peradaban filsafat barat. Aliran Utilitarianisme memandang bahwa suatu tindakan dipandang baik dan buruk berdasarkan impak yang dirasakan secara besar. Seperti pencuri yang mencuri uang seseorang untuk menghidupi sekelompok masyarakat dipandang baik oleh aliran Utilitarianisme. Sedangkan, Immanuel Kant, sebagai salah satu tokoh Deontologi memandang bahwa baik pada dirinya dipandang baik oleh persepsi individu dan buruk dipandang buruk pada dirinya. Seperti mencuri, membunuh, berkhianat, dan lain-lain dipandang buruk secara eksistensi konseptual.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keburukan dan kejahatan dalam pemikiran barat dipandang sebagai hasil persepsi individu yang memaknai suatu perilaku dan tindak berdasarkan impaknya di realitas. Dalam pembacaan Teodisi, sebagian pemikir barat; Utilitarianisme, Deontologis, dan Hedonisme Epicurus tidak menempatkan eksistensi Tuhan sebagai salah satu perkara mengkaji dan mendiskusikan keberadaan Tuhan.
Teodisi dalam Peradaban Islam
Adapun dalam peradaban Islam, wacana Teodisi dikaikan dengan keadilan Tuhan untuk membaca lebih jauh eksistensi Sebab Utama terhadap perilaku manusia di realitas. Seperti aliran Asy’ariyah menyakini bahwa keadilan dalam eksistensi Tuhan bukan sesuatu yang harus dipercayai. Karena keadilan berusaha membatasi setiap kehendak-Nya. Akibatnya, Tuhan senantiasa diatur dan disistem oleh paradigma mahluk yang memandang keadilan berlaku bagi Sebab Utama. Lebih lanjut, aliran Asy’ariyah mempertegas bahwa keadilan bukan tolak ukur untuk menilai tindakan dan kehendak Tuhan. Melainkan kehendak Tuhan yang dipandang sebagai landasan keadilan yang mendeskripsikan bahwa setiap tindakan dan kehendak-Nya merupakan keadilan dan bermakna baik di realitas.
Sedangkan aliran kalam lainnya, seperti Mutazilah menilai bahwa segala perbuatan baik dan buruk tidak dapat dinisbah kepada Tuhan. Sebaliknya, manusia sebagai mahluk-Nya memiliki kreativitas untuk bertindak dan berkehendak secara bebas. Artinya, problematika baik dan buruk merupakan tindakan manusia yang tidak daapt dikaitkan dengan Tuhan. Pandangan Mutazilah bersebrangan dengan As’yariyah yang menempatkan tauhid af’ali atau perbuatan bagi Tuhan merupakan sesuatu yang baik. Sedangkan, Mutazilah menempatkan tauhid sifati atau sifat untuk mendeskripsikan segala sifat yang baik merupakan keniscayaan bagi Tuhan. Seperti adil, kasih-sayang, dan seluruh 97 sifat lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, disimpulkan bahwa problematika keadilan Tuhan dalam kajian Teodisi perspektif Barat dan Islam memiliki berbagai perbedaan sudut pandangan. Para pemikir Barat membahas kajian teodisi melalui perilaku dan tindakan, serta kejahatan sebagai impak keburukan. Sedangkan, para pemikir Muslim mengkaji masalah wacana Teodisi melalui keberadaan Tuhan untuk menjawab berbagai stigma terhadap eksistensi Sebab Utama di realitas.
Editor: Prayoga R. Saputra
Referensi:
Charles Kimball. When Religion Becomis Evil. San Francisco: HarperOne, 2006.
Hasan Yusufian. Kalam Jadid: Pendekatan Baru dalam Isu-Isu Agama. Jakarta: Sadra Press, 2014.
Jhon Hick. Evil and God of Love. London: McMilan, 1966.
Taliaferro. Contemporary Philosophy of Religion. Oxford: Blackwell Publisher Ltd, 1998.
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.