Selamat datang di era baru! Era dimana eksistensi media sosial menjadi otoritas tertinggi dalam mendefinisikan manusia. Tak syak, orang-orang berlomba untuk mendapatkan pengakuan di media sosial. Setiap hari pemikiran kita disibukkan dengan bagaimana penilaian publik terhadap postingan yang kita upload, sehingga luput menilai diri sendiri dalam sunyi. Di lain sisi, setiap orang dengan mudahnya memberikan komentar atau judgment terhadap kehidupan orang lain, berlandaskan pada beberapa lembar postingan foto atau cuplikan video.

Begitulah media sosial mendistraksi kehidupan manusia. Kita pun dengan mudah menilai kualitas seseorang hanya dengan banyaknya followers dan like. Dengan mudahnya seseorang mengangkat dirinya sebagai “publik figur”, hanya dengan berlandaskan pada centang biru yang terpampang pada akun media sosial. Tak terelakkan, kehidupan dunia maya menjadi gaduh, dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri. Lambat laun, sadar maupun tak sadar, manusia kekinian semakin teralienasi dari dirinya sendiri.

Istilah “alienasi” dalam berbagai bahasa menderivasi maknanya dari kata kerja “alienere”, yaitu untuk menjadikan sesuatu milik orang lain, membawa pergi, atau melepaskan. Dalam konteks ini, alienere bermakna mengalihkan kepemilikan sesuatu kepada orang lain. Selain itu, alienasi terkait dengan gangguan mental, berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari bahasa Latin. Dalam perkembangannya, kata alienasi memiliki banyak makna; ini merujuk pada para tokoh atau filsuf yang menggunakannya dengan pengertian dan konteks yang berbeda-beda.

Keterasingan Manusia Filosofis?

Dalam filsafat, diskursus mengenai “keterasingan manusia” atau “alienasi” menjadi perbincangan hangat; sebagaimana dikemukakan oleh Martin Heidegger, Friedrich Hegel, Jean Paul Sartre, Karl Marx, Samuel Beckett, Erich Fromm, dan para filsuf lainnya. Hegel, misalnya, berpandangan bahwa pembahasan mengenai alienasi sangat esensial karena terkait erat dengan munculnya kesadaran atau perasaan terhadap “keliyanan”. Sementara itu, Marx membincang tentang alienasi ketika dikaitkan dengan nasib buruh yang diekploitasi kaum borjuis.

Sedangkan, Fromm selangkah lebih maju dengan menawarkan solusi bahwa kesadaran harus dimulai dari diri sendiri terhadap segala aspek kehidupan, dalam sektor ekonomi, politik, spiritual, aktivitas kebudayaan, bahkan pemikiran filosofis. Dalam definisinya, alienasi adalah suatu cara pengalaman hidup ketika seseorang mengalami dirinya sebagai sosok yang terasing. Dengan kata lain, manusia merasa asing terhadap dirinya sendiri; bahkan beranggapan bahwa dirinya tidak menjadi pusat dunianya dan pencipta aktivitasnya sendiri.

Apabila kita menerjemahkan kegelisahan para filsuf, maka fenomena alienasi manusia di era “hegemoni media sosial” sangat menggurita dalam era kontemporer ini. Media sosial mendistraksi manusia dari kehidupannya, bahkan dari dirinya sendiri. Manusia lambat laun gagap mendefinisikan diri karena telah didefinisikan oleh media sosial. Manusia pun tak punya otentisitas dalam menentukan hidupnya sendiri karena menjadi pengekor trend yang sedang digandrungi atau trending di media sosial.

Bisa jadi, manusia tak sekadar “teralienasi”, melainkan menjadi “alien”.

Tak Terjebak dalam Keterasingan

Dalam fase perjalanan hidup ini, manusia dihadapkan pada pilihan. Manusia dapat memilih untuk meninggikan derajatnya atau justru tersungkur dalam jurang kehinaan. Manusia pun dapat mengenal jati dirinya atau justru terasing dengan dirinya sendiri. Sejak mengenal dunia, seorang anak manusia mengawali kehidupannya dengan berbagai pertanyaan. Ia menghadapi kenyataan bahwa realitas alam rahim ternyata berbeda dengan tempatnya berpijak; seorang bayi pun merasa asing terhadap kondisi sekitarnya. Namun, apakah seorang bayi teralienasi?

Meskipun seorang anak bayi merasa asing, tetapi ia memandang dirinya dengan sudut pandang orang pertama (aku). Sayangnya, mayoritas manusia dewasa merasa asing terhadap dirinya atau teralienasi dari diri sendiri karena memandang dunia dari kaca mata orang lain [baca: standarisasi media sosial]. Jadi, satu-satunya jalan agar tak terjebak lagi dalam keterasingan adalah mengenal diri sendiri secara otentik, menjawab pertanyaan Who am I?

Ketidaktahuan terbesar bukanlah tak tahu mengenai beragam informasi yang hilir-mudik dan silih berganti terjadi di dunia ini. Namun, ketidaktahuan terbesar adalah ketika kita tidak mengenal diri sendiri, bahkan merasa asing terhadap diri sendiri.  Hidup terlalu singkat apabila kita hanya berkutat pada pembuktian bahwa orang lain tak lebih baik dari diri kita, bahkan menjudge kehidupan orang lain. Lebih baik, kita fokus mengenal diri dan berkomunikasi dengan diri. Apabila kita telah selesai dengan memotret diri sendiri, maka kelak media sosial tidak menjadi senjata makan tuan. []

 

Editor: Ahmed Zaranggi

Referensi:

https://plato.stanford.edu/entries/alienation/

Fromm, Erich, Masyarakat yang Sehat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.

Schacht, Ricard, Alienasi: Pengantar Paling Komprehensif, Yogyakarta: Jalasutra,



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

One thought on “Distraksi Media Sosial dan Alienasi Manusia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

18 − 8 =