Berfilsafat tak hanya mengaktivasi nalar, tetapi juga mendengarkan intuisi dan mengoptimalisasi indra. Sehingga, berfilsafat bukan aktivitas eksklusif yang hanya dilakukan oleh kalangan intelektual saja, tetapi berlaku bagi setiap hidup manusia. Bahkan, manusia bisa menciptakan “filosofi hidupnya sendiri”.

Sebagaimana kisah Hayy bin Yaqzan dalam karya Ibnu Thufail. Risalah Hayy ibn Yaqzan fi Asrar Al Hikmah Al Mashiriqiyyah mengetengahkan sosok Hayy ibn Yaqzan yang mengawali pencariannya terhadap realitas. Pada awalnya, ia memulai dengan pengamatan inderawi, kemudian rasio, dan pada akhirnya menyelami batinnya.

Sejak masa kanak-kanak, Hayy bin Yaqzan sudah berfilsafat. Meskipun ia tumbuh tanpa bimbingan orang tua di pulau tak berpenghuni, tetapi ia bisa secara independen memotret realitas. Dalam konteks ini, berfilsafat bertujuan untuk menyingkap realitas, menemukan hakikat kebenaran dan pengetahuan, dan menggali nilai mendasar dalam kehidupan. Begitu pun kita.

Saat masa kanak-kanak, kita kerap mempertanyakan tentang Tuhan. Kita hanya menerima informasi bahwa “Tuhan merupakan sosok yang menciptakan manusia dan alam semesta”. Tetapi, saya ‘kecil’ membayangkan Tuhan sebagaimana manusia dengan atribut yang dilekatkan pada-Nya. Tuhan dengan sosok besar berwujud manusia, berjubah putih dengan tongkat menyatakan “Terjadilah!”. Maka, manusia dan semesta tercipta. Apakah Anda memikirkan hal yang sama?

Namun, beranjak dewasa, kita akan bertanya-tanya tentang asal-muasal? “Apakah benar kita berasal dari Tuhan?”, “Bagaimana bisa Tuhan sebagai sebab bagi manusia dan semesta?”, serta pertanyaan lainnya. Sehingga, akhirnya pun pikiran kita mempertanyakan negasinya; “Apabila Tuhan bukan pencipta, lalu bagaimana manusia tercipta?”  Pertanyaan-pertanyaan tersebut senantiasa bergelayut dalam pikiran kita, entah akan terjawab atau tidak. Hal inilah yang disebut dengan “pengalaman sadar”.

Pengalaman Sadar

Para filsuf berpandangan bahwa pengalaman sadar merupakan hal yang dialami seluruh manusia. Ini diungkapkan oleh David Chalmers dalam karyanya The Puzzle of Conscious Experience; tidak ada yang lebih kita ketahui secara langsung selain “kesadaran”. Terlepas dari diskursus filosofis tentang kesadaran, kita tak dapat memungkiri bahwa manusia sebagai makhluk yang berkesadaran.

Begitu pula, David Bohm dalam Wholeness and the Implicate Order menegaskan bahwa kesadaran merupakan kapasitas untuk merasakan atau mengetahui, bahkan hal yang mendasar untuk hidup. Posisi manusia sebagai mikrokosmos adalah memproses, mencerminkan, dan menerjemahkan alam semesta (makrokosmos) holografik melalui nalar.

Sementara itu, Muthahhari dalam karyanya Manusia dan Alam Semesta berpandangan bahwa segala wujud (eksistensi) di dunia ini bergerak harmonis dan evolusinya menuju ke pusat yang sama. Segala yang diciptakan tidak ada yang sia-sia, bukanlah tanpa tujuan. Termasuk penciptaan manusia yang mana memiliki martabat, tugas, dan misi khusus dalam kehidupan ini.

Lebih lanjut, filsuf Islam kontemporer itu juga menegaskan bahwa manusia bertanggung jawab untuk memajukan dan menyempurnakan dirinya, serta bertanggung jawab untuk memperbarui masyarakatnya. Meskipun kita tak bisa memungkiri bahwa manusia seyogyanya menghargai kebebasan pada diri sendiri dan orang lain. Namun, kebebasan yang dimaksud dalam filsafat adalah “kebebasan eksistensial”.

Kebebasan Eksistensial menuju Kesadaran Pulang

Anugerah “kebebasan eksistensial” sebenarnya sudah kita rasakan sejak kecil. Sebagai manusia, kita memiliki kebebasan untuk berfilsafat atau berpikir filosofis dalam memotret realitas. Anak-anak disebut dengan “filsuf sesungguhnya” karena mempertanyakan segala sesuatu yang ada di sekitarnya, meskipun itu merupakan sesuatu yang sepele bagi orang dewasa. Ini mengindikasikan bahwa manusia sudah memiliki intuisi filosofis yang inheren dalam diri.

Muthahhari dalam karyanya tersebut mengungkapkan bahwa manusia dengan kebebasan yang inheren dalam dirinya bertanggung jawab atas perkembangan diri dan perbaikan masyarakat. Alam semesta merupakan sekolah bagi manusia dan Tuhan menuntun manusia dalam usahanya. Manusia pun memiliki peran kausal terhadap tindakan-tindakannya; bahkan berpengaruh dalam membentuk nasibnya sendiri.

Dalam perjalanan hidup ini, kita dihadapkan pada kondisi yang mengharuskan kita untuk bergerak; tak hanya jiwa, tetapi juga raga. Menikmati perjalanan tak selamanya berdiam di titik yang sama, kita pun harus mengambil keputusan untuk berpindah. Kita terkadang memilih keluar dari zona nyaman untuk mengembangkan diri, mencari pengalaman baru, atau menemukan tempat yang menghargai kompetensi kita.

Seiring berjalannya waktu, kita akan menyadari bahwa tak mungkin segala sesuatu terjadi dalam kehidupan ini tanpa tujuan. Bahkan hati yang hancur, serta duka dalam penderitaan. Berbagai permasalahan hidup merupakan pelajaran dan pertanda bagi kita agar menghargai proses, serta memiliki keinginan untuk melakukan perubahan. Sama halnya seperti rasa terbakar yang memperingatkan agar kita menjauhkan tangan dari api. Begitu pun rasa sakit emosional yang memperingatkan agar kita melakukan perubahan internal. Kita perlu melepaskan.

Kesimpulan

Pada akhirnya, manusia akan berjalan kembali ke asal; melepaskan apa yang pernah dimiliki. Dalam momentum inilah, kita membutuhkan bekal. Menurut Sokrates, ilmu dapat berperan dalam hidup setelah kematian; tentunya yang dimaksud Sokrates adalah ilmu yang beriringan dengan amal.

Dalam Apology, Plato mengungkapkan bahwa Sokrates berpandangan bahwa manusia seyogyanya tidak melewatkan hari tanpa membahas kebaikan, serta memeriksa diri sendiri dan orang lain. Upaya memperoleh ilmu merupakan hal terbaik yang dilakukan manusia; ini merupakan tujuan akhir kehidupan. Selain itu, seluruh pengetahuan bermuara pada pengetahuan diri yang mana mendorong jiwa abadi menyempurna.

Selamat menyiapkan bekal pulang! Selamat berfilsafat!

 

Editor: Ahmed Zaranggi

Daftar Pustaka

Bohm, David. Wholeness and the Implicate Order. London and New York: Ark Paperbacks.

1992.

Chalmers, David, The Puzzle of Conscious Experience. Scientific American. 273.1995.

  1. The Philosophy Book. New York: DK Publishing. 2011.

Hasan, Fuad, Apologia: Pidato Pembelaan Socrates yang Diabadikan Plato. Jakarta: Bulan

Bintang. 1973.

Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam tentang Jagat Raya.

Jakarta: Lentera. 2002.

Thufail, Ibnu, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan,

Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.



This article is under the © copyright of the original Author: Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.
(Zona-Nalar)

One thought on “Filosofi Hidup Manusia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 + seventeen =