Ibn Arabi dalam magnum opusnya berjudul. “Futuhat al-Makkiyah” jil. 13, bagian ke-66 menjelaskan bahwa puasa merupakan ibadah yang dinisbahkan kepada Tuhan sebagai nilai kasih dan sayang manusia terhadap eksistensi Agung di realitas. Secara keberadaan, manusia memiliki visi untuk memperoleh kesempurnaan hakiki di realitas. Akan tetapi, Ibn Arabi berpandangan bahwa kesempurnaan hakiki tidak dapat dicapai tanpa proses penyempurnaan diri. Sebuah proses yang melibatkan peribadahan sebagai sikap mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam artian, bahwa puasa merupakan 2 sikap untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Sekaligus mencapai kesempurnaan hakiki melalui praktik kasih dan sayang kepada sang pemilik alam semesta.
Puasa Sebagai Praktik Kasih Sayang
Lebih lanjut, praktik kasih dan sayang dimaknai sebagai ketundukan pencinta terhadap sosok yang dicintai. Seperti anak yang mencintai orang tuanya yang patuh atas perintah yang diberikan kepadanya. Dalam konteks anak dan orang tua, Ibn Arabi melihat bahwa Tuhan dalam perintahnya mewajibkan setiap hambanya untuk berpuasa. Sehingga pemaknaan puasa juga dipahami sebagai cinta spiritual. Cinta spiritual dalam kalangan sufi dan arif tidak dapat dinilai sebagai cinta antara individu satu dengan lainnya. Akan tetapi, perlu diartikan sebagai cinta terhadap eksistensi dirinya. Sebab, cinta spiritual merupakan proses mencapai hakikat manusia yang dipandang sebagai kesadaran eksistensi.
Secara filosofis, kesadaran eksistensi adalah mengetahui dirinya dan kebutuhannya. Sehingga puasa dalam pandangan filosofis Ibn Arabi juga merupakan bagian dari kebutuhan individu. Meskipun penisbahannya diberikan kepada Tuhan. Lebih lanjut, Ibn Arabi menjelaskan inti dari puasa adalah kembali pada kesucian setelah beribadah selama 30 hari lamanya. “هر روزی که گناهی در آن صورت نگیرد، عید است”. Secara tekstual perkataan Ibn Arabi dapat diartikan sebagai berikut;
“Setiap hari adalah Idul Fitri bagi mereka yang tidak berbuat dosa”
Puasa dan Hakikat Eksistensi Diri
Akan tetapi, secara pemaknaan radikal dapat dipahami sebagai usaha menjaga diri dari perbuatan dosa untuk memperoleh kedudukan yang fitri, berarti sederhana. Kata sederhana dapat disamakan dengan kata basith yang juga berarti sederhana, akan tetapi maknanya berbeda. Basith dalam terminologi filsafat Islam, sufi dan arif adalah keterlepasan manusia dari berbagai dosa dan hawa nafsu. Hal ini dipandang sebagai penghalang individu meraih kesempurnaan hakiki dalam lingkup cinta spiritual.
Dari ragam penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa puasa merupakan sebuah praktik yang dinisbahkan kepada Allah Swt. sebagai langkah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dari berbagai tingkatan eksistensi. Ibn Arabi menyebutkan bahwa pendekatan diri dari ragam tingkatan eksistensi merupakan salah satu sikap ketakwaan atau ketundukan. Sikap tunduk dan takwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini akan membentuk sebuah sikap untuk mencegah diri manusia dari berbagai perilaku dan tindakan yang dapat menghijabi atau membatasi dirinya dengan Sang Wujud tertinggi.
Dengan demikian, dapatlah diketahui bahwa puasa dalam praktiknya merupakan sebuah langkah, cara, dan jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. yang memberikan pengaruh terhadap keberadaan individu untuk tidak bersikap buruk dalam kehidupannya. Sampai di sini, kita telah memahami bahwa puasa memiliki dua urgensi, yaitu teoritis yang disampaikan oleh Ibn Arabi sebagai langkah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan praktis yang mempengaruhi sikap manusia dalam kehidupan duniawinya. Jika kita melihat secara universal, pengaruh teoritis dan praktis puasa dalam perspektif Ibn Arabi merupakan jalan kecil untuk memahami tauhid dalam peribadahan. Demi menguak tauhid dalam ibadah, penulis meminjam pemikiran Murtadha Muthahhari dalam karyanya berjudul Mukadimah Bar Jahān Bini Islāmi.
Puasa dan Tauhid Ibadah
Di dalam karya ini (silahkan buka di bab derajat dan tingkatan Tauhid, halaman 87-89) dijelaskan bahwa derajat tauhid terbagi menjadi tiga bagian; yakni tauhid wujud (dzat), tauhid sifat dan tauhid ibadah. Tauhid wujud dan sifat merupakan keyakinan secara teoritis mengenai keberadaan Tuhan yang Maha Kaya. Kekayaan dalam wujud-Nya menyebabkan seluruh wujud di luar diri-Nya bergantung kepada-Nya. Murtadha Mutahhari menggarisbawahi kata “Ghani” sebagai kekayaan wujud-Nya. Setelah manusia menyadari bahwa wujud Allah Swt. sebagai keberadaan yang tinggi, sebagaimana juga telah dijelaskan sebelumnya oleh Ibn Arabi, ia akan menyadari bahwa keberadaan-Nya bergantung dan butuh kepada Allah Swt.
Manusia akan beribadah, baik ibadah mahdah maupun ghaira mahdah sebagai media mendekatkan diri kepada Allah dan aktualitas dari kesadaran dirinya kepada-Nya. Dua hal ini merupakan sebuah tingkatan tauhid yang mengarahkan manusia untuk mengetahui wujud dan kedudukan Tuhan. Sebagaimana juga pandangan Ibn Arabi mengenai kedudukan dan makna puasa dalam “Futuhat al-Makkiyah”. Dengan memahami ragam penjelasan Ibn Arabi dan penegasan Murtadha Mutahhari, kita dapat mengetahui bahwa puasa secara maknawi mengajarkan manusia untuk meningkatkan integritas eksistensi manusia sebagai sikap mendekatkan diri kepada Tuhan.
Penisbatan amalan puasa kepada Allah Swt. akan membangun sebuah keyakinan untuk mencegah diri dari perbuatan yang menghijabi dirinya dengan Allah Swt. sebagai sikap tunduk. Di sinilah, kita dapat melihat bahwa puasa dalam pandangan Ibn Arabi tidak lain mengarahkan manusia untuk memahami Tauhid wujud dan ibadah. Sebagaimana juga ditegaskan oleh Murtadha Mutahhari. Pandangan demikian merupakan sebuah pandangan yang unik untuk ditelaah dan dikaji secara berkelanjutan bagi para pelajar dan peneliti yang bergerak di bidang tasawuf untuk mengetahui secara berkelanjutan falsafah puasa menurut pandangan Ibn Arabi.
Editor: Ahmed Zaranggi
This article is under the © copyright of the original Author:
(Zona-Nalar)
Please read "term and condition" to appreciate our published articles content. Thank you very much.